
Linda Amalia Sari Gumelar (Eva/dok)
Artikel Terkait:
03/04/2012- Linda Amalia Sari: Perempuan Lebih Baik Berkarya Di Dalam Negeri
- Linda Hoemar Abidin: Hibah Seni Untuk Majukan Seni Pertunjukan Indonesia
- Linda Amalia Sari: Program Gender Di Indonesia Dapat Apresiasi CEDAW
- Linda Gumelar: Perlu Pendekatan Gender Dalam Penanggulangan HIV/AIDS
- Linda Gumelar: Ayo Pilih Caleg Perempuan, Nyata, Memberi Arti
Linda Gumelar: Tingkatkan Keterwakilan Perempuan, Perlu Afirmatif Action
Politikindonesia - Kesetaraan gender belum sepenuhnya tercermin dalam keterwakilan perempuan dan laki-laki di bidang politik. Hingga saat ini partisipasi perempuan di partai politik (parpol) dan lembaga legislatif masih rendah. Hanya sekitar 18 persen. Partai Politik harus lebih serius dalam memberikan kuota keterwakilan perempuan di parlemen.
Demikian disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar. “Sebab, hingga kini angka keterwakilan perempuan hanya mencapai 18 persen dari 30 persen kuota yang disediakan. Padahal banyak sekali perempuan Indonesia yang berkualitas," katanya kepada politikindonesia.com, Selasa (03/04).
Kepada Elva Setyaningrum, mantan ini Ketua Kongres Wanita Indonesia pun menantang parpol yang akan terjun ada Pemilu 2014 mendatang untuk memenuhi aturan kuota keterwakilan perempuan.
Hingga saat ini, partisipasi politk kaum perempuan dalam revisi UU Pemilu di DPR belum banyak diangkat. Untuk itu, ia dan organisasi perempuan terus mengawal revisi UU Pemilu di DPR agar keterlibatan perempuan bisa lebih besar lagi. Berikut hasil wawancaranya!
Sampai saat ini, bagaimana keterwakilan perempuan di parlemen?
Meskipun jumlah perempuan di parlemen mengalami peningkatan yaitu dari 11,3 persen pada Pemilu 2004 menjadi 18 persen pada Pemilu 2009, tetapi angka ini masih jauh dari yang dicita-citakan. Undang-Undang No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPD mengamanatkan, keterwakilan perempuan sebesar 30 persen.
Pengalaman Pemilu tahun 2004 dan 2008 menunjukan bahwa perjuangan perempuan dalam mendesakan payung hukum bagi keberadaan caleg perempuan dengan menyertakan tindakan afirmatif, ternyata belum berhasil meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan secara signifikan.
Apa penyebab keterlibatan perempuan di parlemen masih rendah?
Ada banyak faktor yang membuat keterlibatan perempuan masih kurang. Salah satunya, adanya tuntutan adaptasi dengan budaya maskulin di parlemen. Dalam hal ini, sebenarnya perlu kesadaran bersama untuk mewujudkan kesetaraan gender pada kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian maka akses perempuan untuk berpolitik dan menjadi mitra laki-laki atau menjadi seorang pemimpin bisa lebih besar. Ini membutuhkan kegigihan tersendiri dari kelompok perempuan dan kelompok masyarakat yang mendukung perubahan pola pikir tersebut.
Soal keterwakilan perempuan di parlemen pada Pemilu 2014 mendatang, apa komentar anda?
Kedudukan dan keterwakilan perempuan di parlemen pada Pemilu 2014 perlu mendapat perhatian serius. Ini butuh komitmen dari para pimpinan parpol) mengenai komposisi calon anggota legislatif (caleg) mereka.
Terlebih, berdasarkan kesepakatan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) 2015, keterwakilan perempuan di parlemen harus mencapai 50 persen. Ini yang harus kita kejar dan dicapai. Maka diperlukan adanya afirmatif action (kebijakan khusus) bagi perempuan.
Apa pentingnya tindakan afirmatif itu bagi keterwakilan perempuan di parlemen?
Tindakan afirmatif diperlukan terkait dengan dominasi budaya patriarki yang masih kuat mempengaruhi dunia politik, termasuk iklim Parpol yang berbau maskulin. Aturan hukum perlu dicantumkan dalam UU Pemilu mendatang untuk menyadarkan bahwa ada hak perempuan yang selama ini terabaikan yang harus dikembalikan. Dengan lebih banyak keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, akan mempengaruhi kebijakan yang lebih pro terhadap kebutuhan perempuan.
Kami pun mendorong perempuan Indonesia untuk aktif dalam politik, dan parpol juga memberikan kesempatan pada perempuan lebih besar pada pemilu 2014. Kami juga dorong sanksi yang lebih tegas terhadap parpol yang belum melaksanakan kewajiban kuota 30 persen itu.
Apa yang harus dilakukan Parpol untuk mengimplementasikan keterwakilan signifikan perempuan di parlemen?
Adanya UU Pemilu yang memuat sanksi yang lebih konkret. Saya ingin agar Parpol yang tak memberi kuota 30 persen harus mendapatkan sanksi. Karena belum ada sanksi tegas yang dikenakan kepada parpol yang hingga saat ini belum melaksanakan perintah UU Pemilu untuk menambah komposisi perempuan sebanyak 30 persen. Pemberlakukan kuota 30 persen bagi caleg perempuan pada Pemilu 2004 yang kemudian disempurkanakan dengan pemberlakukan sistem zipper pada Pemilu 2009 harus kandas dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Padahal pada Pemilu 2009, banyak sekali perempuan berkualitas.
Ada usulan agar perempuan kuota 30 persen pada Pemilu 2014 bisa tercapai?
Kami bersama organisasi perempuan lainnya sudah mengusulkan agar nomor urut 1 dan 2 pada daftar caleg diisi seimbang oleh laki-laki dan perempuan untuk mengejar keterwakilan 30 persen perempuan di Parpol. Karena sejauh ini mayoritas caleg laki-laki terpilih berada di nomor 1 (68 persen), begitu juga dengan caleg perempuan. Ini menunjukan nomor urut teratas bisa memberikan peluang keterpilihan mereka lebih besar.
(eva/kap)