
Artikel Terkait:
2010-09-22 17:40:36 WIBPutusan Lengkap Mahkamah Konstitusi Soal Jaksa Agung (5)
Politikindonesia - PUTUSAN Nomor 49/PUU-VIII/2010
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
(Sambungan Bagian 5)
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas, Pemerintah memohon kepada yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus dan mengadili permohonan pengujian ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
a. Dalam Provisi:
Adanya permohonan Pemohon agar Kejaksaan Agung untuk menghentikan atau sekurang-kurangnya menunda penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor Print-79/F.2/Fd.1/06/2010 dan Surat Keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP-212/D/ Dsp.3/06/2010 tentang Pencegahan dalam perkara pidana, sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang berkekuatan hukum tetap.
Menurut Pemerintah, karena tindakan hukum yang demikian bersifat kongkrit, maka permohonan tersebut di atas merupakan ranah kewenangan lembaga Peradilan Umum atau Peradilan Tata Usaha Negara untuk memutuskannya, dan bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang menguji materi muatan norma yang bersifat abstrak.
b. Dalam Pokok Permohonan Pengujian:
1. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
2. Menyatakan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Untuk menguatkan keterangannya, Pemerintah mengajukan ahli-ahli yang telah didengarkan keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 24 Agustus 2010 pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
1. Letjen (Purn.) Achmad Roestandi, S.H.
Pasal 24 UUD 1945 menyatakan secara tegas bahwa kekuasaan kehakiman hanya dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan jajarannya dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Walau demikian, Kejaksaan itu ada kaitannya dengan kekuasaan kehakiman;
Dalam Undang-Undang Kejaksaan ditegaskan bahwa Kejaksaan merupakan lembaga yang merdeka. Artinya, di dalam penuntutan Kejaksaan tidak tunduk dan tidak di bawah Presiden, tetapi secara struktural memang Kejaksaan ada di bawah Presiden;
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 memberikan keleluasaan, delegasi wewenang yang sangat besar kepada pembentuk undang-undang yaitu DPR dan Presiden untuk menentukan segala sesuatu tentang Kejaksaan.
Kerugian konstitusional Pemohon tidak tepat, karena sepanjang Undang-Undang lain yang berkaitan dengan acara pidana masih ada maka kerugian konstitusional Pemohon masih ada;
Jaksa adalah merupakan genus yang dibedakan spesiesnya menjadi Jaksa Agung dan Jaksa bukan Jaksa Agung. Jaksa Agung adalah Pejabat Negara sedangkan Jaksa bukan Jaksa Agung bukan Pejabat Negara tetapi harus PNS, Pegawai Negeri Sipil. Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan Jaksa bukan Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung. Jaksa bukan Jaksa Agung umur minimal pengangkatan 25 sampai 35 tahun. Kalau Jaksa Agung tidak ada batasnya pengangkatannya. Jaksa bukan Jaksa Agung mempunyai syarat lain untuk diangkat yaitu harus lulus pendidikan dan latihan pendidikan Jaksa, sedangkan Jaksa Agung tidak. Akibatnya, misalnya di dalam syarat umur, Jaksa adalah 62 tahun, sedangkan Jaksa Agung bisa seumur hidup karena tidak ada ketentuan yang
mengaturnya;
Masa jabatan Jaksa Agung yang seumur hidup bukan berarti tidak demokratis karena tidak selalu demokrasi itu harus ada masa jabatan. Kalau mau mengubah aturan tersebut, maka bukan melakukan judicial review, tetapi harusnya adalah legislative review;
Terkait dengan Keppres pengangkatan Hendarman Supandji, tentunya tidak perlu ada pengangkatan lagi karena Hendarman Supandji belum diberhentikan.Hal tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi apalagi karena konstitusi itu sama sekali tidak ada rambu-rambu itu mengenai masa jabatan dan lain-lain.Oleh karena Jaksa Agung belum diberhentikan dan tidak ada pengangkatan, tetapi dengan sendirinya karena asas kontinuitas, maka Hendarman Supandji tetap sebagai Jaksa Agung yang sah;
Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai wewenang untuk menentukan umur atau untuk menentukan masa jabatan Jaksa Agung. Oleh karena itu DPR yang harus melakukan segera legislative review untuk menentukan, masa jabatan Jaksa Agung;
2. Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H.
Dari sisi hukum maka isu legalitas Jaksa Agung adalah isu dalam ranah ius constitutum, sedangkan isu tentang masa jabatan Jaksa Agung, kalau kita cermati Undang-Undang Kejaksaan Agung maka isu tersebut masuk dalam ranah ius constituendum;
Pada ranah ius constitutum titik tolak adalah Undang-Undang Kejaksaan. Pasal 19 ayat (2) UU 16/2004 menyatakan, Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Pasal 22 ayat (2) UU 16/2004 mempertegas, diberhentikan dengan Keputusan Presiden;
Asas praesumptio iustae causa (vermoeden van rechtmatugheid) berarti setiap keputusan pemerintahan harus dianggap sah sampai ada pembatalan (asas contrario sepanjang belum/tidak dibatalkan, keputusan tersebut tetap sah). Asas contrarius actus berarti setiap keputusan pemerintahan hanya dapat dibatalkan dengan keputusan pemerintahan setingkat. Asas nietigheid (kebatalan) keputusan pemerintahan berarti tidak ada keputusan pemerintah yang nietieg (batal) atau batal demi hukum (van rechtsmewe nietig) tetapi hanya dapat dibatalkan (vernietigbaar) kecuali keputusan tersebut nyata-nyata tidak didasarkan kewenangan yang sah. Oleh karena itu, berdasarkan tiga asas tersebut Hendarman tetap sah sebagai Jaksa Agung;
Komponen legalitas itu didukung oleh wewenang prosedur dan substansi. Parameter cacat yuridis adalah peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Kalau terdapat cacat dalam salah satu komponen tadi, maka berdasarkan asas praesumptio iustae causa, tidak ada keputusan pemerintahan yang batal demi hukum, kecuali nyata-nyata dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang. Dalam konteks itu, contoh yang tidak lazim dalam hukum administrasi adalah posisi Prof. Harun Al Rasyid sebagai penasihat pada zaman Presiden Abdurrahman. Begitu Abdurrahman Wahid tidak menjadi Presiden maka beliau dengan sendirinya juga tidak berwenang lagi untuk memberhentikan Prof. Harun Harun Al Rasyid. Kondisi tersebut adalah onbevoegdheid ratione tempori. Kalau beliau tidak diberhentikan oleh Presiden yang lain apakah dia tetap menjadi penasihat Presiden? Persoalannya apakah beliau masih dimanfaatkan oleh Presiden yang lain, kalau beliau tidak dimanfaatkan oleh Presiden lagi, maka posisi Pak Harun Al Rasyid itu dalam hukum dikatakan abolitie de facto;
Diktum lah yang melahirkan akibat hukum, bukan konsideran. Konsideran mengenai keputusan yang sifatnya beschikking sampai sekarang belum ada aturannya. Akan tetapi, kalau dianalogikan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, seyogianya konsiderans itu berisi tentang aspek filosofis, sosiologis dan yuridis;
Berdasarkan Pasal 20 UU 16/2004, tidak ada syarat Jaksa Agung harus seorang Jaksa. Dengan sendirinya Jaksa Agung bukan jabatan karir.
Pasal 19 UU 16/2004 menyatakan, Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, Pasal 22 ayat (2) UU 16/2004 menyatakan, dengan Keputusan Presiden. Dengan demikian, persoalannya adalah mengenai kewenangan. Hal tersebut bukanlah diskresi melainkan kewenangan presiden.
3. M. Fajrul Falaakh, S.H., M.H.
Pemohon tidak cukup menguraikan mengenai kerugian konstitusional yang diakibatkan oleh Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004. Pemohon malah memohon Mahkamah memberikan tafsir. Hal tersebut merupakan constitutional issues atau constitutional question; Andaikata telah terjadi salah tafsir sebagaimana dalil Pemohon mengenai norma pemberhentian Jaksa Agung, maka salah tafsir bukan merupakan bukti tentang timbulnya kerugian bagi Pemohon yang telah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi oleh pihak Kejaksaan. Karena menurut ketentuan dalam undang-undang ditegaskan bahwa penetapan tersangka Tipikor merupakan wewenang lembaga Kejaksaan. Jadi Kejaksaan berwenang menetapkan itu karena itu tidak ada hubungannya soal masa jabatan apalagi cuma tafsir tentang masa jabatan.
Untuk kepastian norma tentang wewenang Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung, sebaiknya Mahkamah membatalkan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004 karena berisi ketentuan tentang masa jabatan Jaksa Agung namun tanpa batasan waktu secara definitif, sehingga justru menimbulkan uncertainty dan dengan demikian tidak sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2003. Karena ketidakpastian itu, maka akibatnya norma itu juga tidak dapat dilaksanakan, sehingga tidak sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2003.
Mengenai pemberhentian Jaksa Agung, Pasal 19 UU 16/2004 menyebutkan bahwa pemberhentian Jaksa Agung diputuskan dan dilakukan oleh Presiden. Kalau untuk memenuhi kepuasan tulis-menulis, Keppres mungkin saja diterbitkan bahkan yang berlaku surut. Karenanya, masalah ini adalah masalah administrasi, maka bukan kompetensi Mahkamah. Jadi bukan masalah berlakunya undang-undang yang telah merugikan hak konstitusional Pemohon;
UU 16/2004 menentukan bahwa Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya antara lain kalau berakhir masa jabatannya. Kalau mau diterapkan pensiun pada usia 62 tahun, tidak berlaku bagi jabatan Jaksa Agung karena pensiun pada usia 62 tahun berlaku bagi Jaksa karir yaitu PNS Jaksa;
Jaksa Agung berdasarkan UU 16/2004 bukan lagi jabatan karir melainkan pejabat negara.
Jaksa Agung dilarang merangkap jabatan menteri, sehingga masa jabatan Jaksa Agung tidak boleh disamakan dengan masa jabatan menteri. Penyamaan masa jabatan Jaksa Agung dengan kabinet adalah berdasarkan konvensi;
Terdapat tiga kemungkinan mengenai pemberhentian Jaksa Agung dengan hormat apabila berakhir masa jabatannya. Pertama, maknanya adalah Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat apabila jabatan Jaksa Agung disamakan dengan jabatan fungsional Jaksa yaitu berdasarkan usia pensiun. Pemberhentian tentu saja akan dilakukan dengan Keppres. Cara ini tidak dapat diterapkan pada Jaksa Agung karena memang Jaksa Agung bukan jabatan karir. Kedua, Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat karena masa jabatannya diakhiri bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan Presiden. Pemberhentian ini akan mengakibatkan kekosongan jabatan pimpinan Kejaksaan, sehingga Jaksa Agung baru harus segera diangkat. Namun perlukah Keppres pemberhentiaan dan pengangkatan kembali Jaksa Agung kalau orangnya sama? Untuk kepuasan tulis menulis, mungkin saja diterbitkan Keppres yang berlaku surut. Andaikata Keppres semacam ini diterbitkan, maka Keppres itu berkedudukan sebagai dokumen alat bukti pengangkatan Jaksa Agung yang kesahannya tunduk kepada wewenang pejabat yang mengangkatnya. Menurut kaidah TUN, tindakan tidak menerbitkan surat keputusan tentang sesuatu harus diartikan bahwa pejabat TUN tersebut telah memutus sesuai tindakan yang tidak dituangkan dalam suatu surat atau dokumen tertulis. Hal tersebut merupakan presumption of legality. Ketiga, Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat, apabila dia diberhentikan oleh Presiden, karena memang masa jabatan seseorang sebagai Jaksa Agung dimulai berdasarkan Keppres pengangkatannya dan berakhir berdasarkan Keppres pemberhentiannya siapapun Presidennya;
Norma utama (primary rule) adalah bahwa Jaksa Agung itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Secondary rule adalah kapan harus diangkat, kapan harus diberhentikan, bagaimana caranya mengangkat, bagaimana cara memberhentikan. Primary rule yang dituangkan di dalam Pasal 19 UU 16/2004 sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis bahwa sudah seharusya jabatan publik termasuk jabatan Jaksa Agung, Jaksa Agungnya tidak mengangkat diri sendiri dan tidak memberhentikan diri sendiri. Artinya, Jaksa Agung bergantung kepada keputusan politik dari pejabat yang berwenang;
Mengenai kedudukan Jaksa Agung, dengan jelas Undang-Undang menentukan bahwa Jaksa Agung itu sekarang adalah pejabat negara dan dilarang merangkap jabatan negara lainnya. Dengan demikian, Jaksa Agung bukan Menteri. Penyebutan kedudukan setingkat Menteri itu cuma kaitannya dengan penggajian dan lain-lain.
4. Prof. Dr. (Iur.) Adnan Buyung Nasution, S.H.
Tidak benar masa jabatan Jaksa Agung tidak diatur, sebab berdasarkan Pasal 19 ayat (2) UU 16/2004 ditentukan Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena meninggal dunia, permintaan sendiri, sakit jasmani atau rohani terus menerus, berakhir masa jabatannya, tidak lagi memenuhi syarat.Ditentukan pula bahwa pemberhentian itu ditetapkan dengan Keputusan Presiden;
Selama Jaksa Agung in casu Hendarman Supandji masih diangkat sebagai Jaksa Agung dengan kedudukan setingkat Menteri dengan SK Presiden Nomor 31/2007 dan tidak pernah diberhentikan dengan SK Presiden Nomor 83/P/2009, maka Jaksa Agung Hendarman Supandji masih tetap menjabat Jaksa Agung, dan oleh karena itu pula tidak perlu ada upacara pelantikan sebagai Jaksa Agung;
SK pengangkatan Jaksa Agung di masa yang lalu, sebelum Hendarman Supandji, pada umumnya selalu bersamaan dengan SK Presiden tentang Pengangkatan Menteri Negara dan Jaksa Agung dengan kedudukan Setingkat Menteri Negara. Begitu pula SK pemberhentiannya juga memberhentikan Menteri Negara dan Jaksa Agung dalam satu nafas. Akan tetapi, pada waktu pengangkatan Kabinet Indonesia bersatu II berdasarkan SK Presiden Nomor 83/P/2009 yang diangkat hanya para Menteri Negara dan sama sekali tidak menyebutkan kedudukan Jaksa Agung. Hal ini menunjukkan bahwa administrasi aparat kabinet kurang cermat namun hal itu tidak berarti cacat hukum ataupun tidak sah alias ilegal, apalagi menganggap seluruh keputusan atau kebijakan serta tindakan atau perintah dan/atau persetujuan yang diberikan oleh Jaksa Agung sebagai Jaksa Agung adalah batal demi hukum;
Kalaupun ada kerugian yang dirasakan oleh Pemohon, maka kerugian itu adalah konsekuensi dari posisi Pemohon sebagai Tersangka yang berada dalam ranah hukum pidana, bukan ranah sengketa konstitusional yang menjadi kewenangan Mahkamah;
Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan één en ondeelbaar, tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa setiap tindakan Jaksa keabsahannya tergantung pada sah tidaknya Jaksa Agung in casu Hendarman Supandji. Jaksa Agung boleh silih berganti, kedudukannya pun bisa sah dan tidak sah, tetapi para Jaksa sebagai satu kesatuan dalam institusi Kejaksaan tetap exist dan sah bekerja dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya;
Pengertian satu dan tidak terpisahkan, landasan dalam melaksanakan tugas dan wewenang di bidang penuntutan yang tujuannya adalah agar ada satu kebijakan dalam penuntutan, sehingga andaikata pun dalam menjalankan penuntutan seorang Jaksa gugur ataupun berhalangan, maka tugas kegiatan penuntutan oleh Kejaksaan tidak berhenti ataupun berubah, melainkan tetap berlangsung sekaligus dilakukan oleh Jaksa lainnya;
Jabatan negara setingkat dengan menteri artinya hak-hak keuangannya, administrasinya, fasilitas-fasilitas lainnya itu diberikan setingkat dengan Menteri Negara. Permasalahan yang diajukan Pemohon bukan ranah Mahkamah Konstitusi, tetapi mungkin ranah dari peradilan umum;
Masa jabatan Jaksa Agung bukan tidak ada batasnya atau seumur hidup karena jelas dikatakan bahwa Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Jadi ada masa jabatan, yaitu diangkat sampai dengan diberhentikan. Terdapat diskresi Presiden untuk melihat apakah Jaksa Agung capable atau tidak capable.
5. Denny Indrayana, S.H., L.L.M., Ph.D
Kalaupun ada jabatan seumur hidup bukan berarti bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi. Alternatif Jabatan seumur hidup justru dapat sangat berkaitan dan sangat menguatkan prinsip independensi satu lembaga;
Kapolri, Panglima TNI, dan Jaksa Agung bukan anggota kabinet. Anggota kabinet itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008, sedangkan Kapolri, Panglima TNI, dan Kejaksaan diatur dengan Undang-Undang masing-masing;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 menegaskan bahwa kabinet itu terdiri dari maksimal 34 kementerian saja dan itulah yang menjadi dasar Keppres terakhir, Kabinet Indonesia Bersatu II mengangkat 34 orang, di luar 34 orang ini bukan anggota kabinet.
Setingkat Menteri Negara, bukan berarti Menteri Negara. Pada Keppres disebutkan ”Setingkat Menteri Negara”. Menteri Negara dan Setingkat Menteri Negara adalah dua hal yang berbeda, selain dari diksinya berbeda tingkat di sini hanya terkait dengan masalah-masalah administrasi, terkadang protokoler;
Sepanjang Keppres Tahun 2007, yang terkait dengan Hendarman Supandji belum dicabut, maka dasar hukum Hendarman masih menggunakan Keppres tersebut;
Terdapat konvensi ketatanegaraan bahwa masa jabatan Jaksa Agung sama dengan kabinet;
Terdapat perubahan ketentuan, yaitu: perubahan Undang-Undang Dasar yang menyebutkan Pasal 24 ayat (3), yang kemudian menjadi cantolan bagi Undang-Undang Kejaksaan, termasuk Undang-Undang KPK dan sejenisnya; UU 16/2004 menambahkan kata-kata ‘Merdeka’ dan ‘Merdeka’ berarti bebas dari pengaruh pemerintah, yang tidak ada dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991; selain itu, terdapat Undang-Undang Kementerian Negara;
Kata ‘Merdeka’ dalam konstitusi hanya terkait masalah kekuasaan kehakiman. Kalau dikaitkan dengan pemberantasan korupsi oleh unsur eksekutif dalam konteks politik hukum, Presiden punya politik hukum pemberantasan korupsi.Jaksa Agung dalam konteks ini adalah Lembaga Pemerintah yang melakukan itu, menjalankan politik hukum itu. Akan tetapi dalam penuntutan, tidak bisa kemudian dipengaruhi oleh siapapun termasuk oleh Pemerintah, termasuk oleh Presiden;
Masa jabatan pejabat negara memang berbeda-beda dan perbedaan itu merupakan politik hukum legislasi.
[2.4] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 18 Agustus 2010, pada pokoknya sebagai berikut:
A. KETENTUAN PASAL UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD TAHUN 1945.
Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang berbunyi, "Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: d. berakhir masa jabatannya".
Pemohon beranggapan ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Negara R
Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945: "Negara Indonesia adalah negara hukum".
Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945: "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PEMOHON DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA (UNTUK SELANJUTNYA DISEBUT UU NOMOR 16 TAHUN 2004).
Dalam permohonan a quo dikemukakan, dengan berlakunya Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang a quo, Pemohon sangat dirugikan hak konstitusionalnya, seperti antara lain:
1. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan, bahwa penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh Jaksa Agung dan perintah penyidikannya didasarkan atas Surat Perintah Penyidkan Direktur Penyidikan atas nama Jaksa Agung Muda Tlndak Pidana Khusus yang diangkat oleh Presiden atas usul seorang Jaksa Agung yang memiliki ketidakjelasan legalitas penerapan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang a quo yang multi-tafsir. Sementara Jaksa Agung yang mengambil keputusan itu adalah seorang Jaksa Agung yang tidak memiliki kejelasan legalitas, akibat penerapan yang multi-tafsir terhadap ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang a quo (vide Permohonan angka 8 hal. 4-5).
2. Bahwa menurut Pemohon Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 telah merugikan Pemohon secara actual, karena: (vide Permohonan angka 40 hal. 28-29).
a. Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Jaksa Agung RI;
b. Pemohon telah kehilangan kebebasannya karena telah dicegah untuk meninggalkan wilayah NKRI oleh Jaksa Agung RI;
c. Pemohon telah kehilangan hak untuk bekerja, melakukan berbagai kegiatan dan berkomunikasi secara layak dan manusiawi, karena Pemohon telah berstatus sebagai Tersangka tindak pidana korupsi yang sedikit-banyaknya menimbulkan kesan yang kurang baik di mata masyarakat awam yang kurang memahami asas praduga tak bersalah;
d. Pemohon telah mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan pada tanggal 1 Juli 2010 pada waktu hendak meninggalkan kantor Kejaksaan Agung RI;
e. Pemohon telah mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, karena adanya pembatasan yang tidak patut untuk meninggalkan halaman gedung Kejaksaan Agung RI pada tanggal 1 Juli 2010;
3. Bahwa Jaksa Agung Hendarman Supandji, SH, CN telah diangkat sebagai Jaksa Agung "Kabinet Indonesia Bersatu" berdasarkan Keppres Nomor 31/P Tahun 2007 tanggal 7 Mei 2007, "dengan kedudukan setinqkat Menteri Negara" untuk menggantikan Sdr. Abdurrahman Saleh yang menduduki
jabatan yang sama sebagaimana tertuang dalam Keppres Nomor 187/P Tahun 2004. (vide Permohonan angka 15 hal. 6).
4. Bahwa dalam Konsiderans huruf a Keppres Nomor 187/M Tahun 2004, disebutkan bahwa H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Yusuf Kalla adalah Presiden terpilih untuk masa jabatan 2004-2009. Dalam Konsiderans b dikatakan bahwa untuk melaksanakan tugas penyelenggaraan negara, dipandang perlu untuk "membentuk dan mengangkat Menteri Negara Kabinet Indonesia Bersatu". Dengan demikian, maka masa tugas Kabinet Indonesia Bersatu, sesuai dengan jabatan Presiden selama 5 tahun, dengan sendirinya berakhir pada tanggal 20 Oktober 2009. (vide Permohonan angka 16 hal. 6).
5. Bahwa dalam permohonan a quo dikemukakan, bahwa sampai dengan dimajukannya permohonan a quo, Hendarman Supandji, SH, CN. tidak pernah diangkat kembali sebagai Jaksa Agung RI melalui sebuah Keppres dan diketahui umum tidak pernah mengangkat sumpah jabatan dalam suatu upacara pelantikan sebagaimana layaknya seorang pejabat negara. Dengan demikian kedudukan Hendarman Supandji, SH, CN sebagai Jaksa Agung adalah tidak sah. Bahwa menurut Pemohon jabatan Jaksa Agung RI yang tidak memiliki landasan hukum maka tidak sah menurut hukum yang telah menerbitkan keputusan-keputusan, penetapan, perintah jabatan dan kebijakan yang membawa akibat hukum yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung RI yang telah berakhir masa jabatannya akibat kekliruan menafsirkan dan menerapkan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang a quo yang multi-tafsir telah memberikan ketidakpastian hukum dan menciderai jaminan perlindungan atas hukum yang adil terhadap diri Pemohon. (vide Permohonan angka 18 dan 20 hal. 7-8).
C. KETERANGAN DPR RI
Terhadap dalil-dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan a quo, pada kesempatan ini DPR dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum (legal standing) dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai Pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat UU Mahkamah Konstitusi), yang menyatakan bahwa "Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara."
Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa "yang dimaksud dengan "hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945." Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja yang termasuk "hak konstitusional".
Oleh karena itu, menurut UU Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam "Penjelasan Pasal 51 ayat (1)" dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang.
Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-111/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
c. bahwa kerugian dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam perkara Pengujian Undang-Undang a quo, maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pihak Pemohon.
Menanggapi permohonan Pemohon a quo, DPR berpandangan bahwa Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji.
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) tersebut, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulya untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-111/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007;
2. Pengujian Materil Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
1. Bahwa dalam permohonan a quo, Pemohon berpendapat yang menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang a quo menimbuikan ketidakjelsan dan ketidakpastian hukum karena tidak menentukan secara tegas batas waktu jabatan Jaksa Agung RI, sehingga dapat ditafsirkan jika tidak meninggal dunia, tidak mengajukan permintaan untuk berhenti, tidak sakit jasmani dan rohani terus-menerus, tetap memenuhi syarat sebagai Jaksa Agung RI, maka seorang Jaksa Agung RI tidak dapat diberhentikan oleh Presiden. Keadaan ini menurut Pemohon berpotensi menjadikan seorang Jaksa Agung akan memangku jabatan seumur hidup.
2. Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR berpendapat bahwa ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang a quo sudah cukup jelas dan tegas menentukan bahwa Jaksa Agung RI diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena berakhir masa jabatannya. Dalam hal ini DPR berpandangan bahwa ketentuan Pasal a quo berkaitan dengan Pasal 19 ayat (2) UU a quo yang pada pokoknya mengatur berakhirnya masa jabatan seorang Jaksa Agung RI sepenuhnya wewenang Presiden. Oleh karena menurut ketentuan Undang-Undang a quo Presiden-Iah yang mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung RI. Dengan demikian sepanjang Presiden belum mengeluarkan keputusan untuk memberhentikan Jaksa Agung RI, maka menurut hukum masa jabatan Jaksa Agung RI belum berakhir.
3. Bahwa DPR tidak sependapat dengan dalil Pemohon yang mengemukakan kedudukan Jaksa Agung RI yang setingkat dengan Menteri Negara karena diangkat dalam Kabinet Indonesia Bersatu, maka berakhirnya masa jabatan Jaksa Agung RI sama dengan berkahirnya masa kedudukan Menteri Negara dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR berpandangan bahwa kedudukan Jaksa Agung RI yang diangkat setingkat Menteri Negara dalam Kabinet Indonesia Bersatu tidaklah bermakna bahwa Menteri Negara dan Jaksa Agung RI merupakan sebuah jabatan dalam lingkup kedudukan jabatan yang sama. Mengingat Kementerian dan Jaksa Agung RI masing-masing diatur dalam Undang-Undang yang berbeda, yaitu Menteri diatur dalam UU Kementerian Negara dan Jaksa Agung RI diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Dengan demikian sesungguhnya kedudukan Jaksa Agung RI berdasarkan Undang-Undang a quo menjelaskan bahwa kedudukan Jaksa
Agung RI bukanlah bagian dari kabinet. Oleh karena itu jika ada produk hukum (Keppres) yang menyatakan bahwa Jaksa Agung RI merupakan bagian dari kabinet maka hal tersebut dapat diuji secara materiil di Mahkamah Agung.
4. Bahwa terkait dengan hal tersebut, DPR berpendapat bahwa kedudukan Jaksa Agung RI yang disetarakan setingkat dengan Menteri Negara hanya terkait dengan hak-hak administrasi dan keprotokolan sebagai pejabat negara, oleh karena itu sangat tidak relevan jika berakhirnya masa jabatan Jaksa Agung RI disamakan dan disesuaikan dengan berakhirnya masa jabatan Menteri Negara dalam Kabinet Indonesia Bersatu. sebab sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa kedudukan Menteri Negara yang diatur dalam UU Kementerian Negara, dengan kedudukan Jaksa Agung RI yang diatur dalam UU Kejaksaan RI adalah berbeda diantara keduanya.
5. Bahwa DPR tidak sependapat dengan dalil Pemohon yang mengkaitkan status Pemohon sebagai Tersangka dalam tindak pidana korupsi dengan legalitas jabatan Jaksa Agung RI yang diduduki Hendarman Supandji, SH, CN. Menurut DPR dalil Pemohon tersebut tidak relevan, sebab antara penentuan status seseorang sebagai Tersangka jelas tidak dapat dikaitkan dengan masa jabatan Jaksa Agung RI yang dipersoalkan oleh Pemohon, karena kedua hal tersebut didasarkan pada landasan yuridis yang berbeda. Penentuan sesorang berstatus sebagai Tersangka didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang secara formil diatur dalam KUHAP dan ketentuan materiil di dalam KUH Pidana. Seandainya pun sebagaimana dalil Pemohon mengenai legalitas jabatan Jaksa Agung RI dipersoalkan, tidak berarti dan tidak serta-merta proses hukum yang sudah berjalan menjadi tidak sah.
6. Bahwa berdasarkan fakta-fakta dan penjelasan yang diuraikan tersebut, DPR berpendapat bahwa ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon kiranya Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat memberikan amar putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing),sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
2. Menyatakan permohonan a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya permohonan a quo tidak dapat diterima;
3. Menyatakan Keterangan DPR diterima untuk seluruhnya;
4. Menyatakan Pasal 22 ayat (1) hururf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
5. Menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
[2.5] Menimbang bahwa pada tanggal 31 Agustus 2010, Mahkamah telah menerima kesimpulan tertulis dari Pemohon sebagai berikut:
1. Mahkamah Konstitusi Berwenang Memeriksa dan Memutus Perkara ini
Sebagaimana telah dikemukakan baik dalam sidang perbaikan permohonan maupun dalam pokok perkara, telah terungkap dengan sejelas-jelasnya bahwa perkara yang diajukan ini adalah pengujian Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena pokok perkara yang diajukan adalah pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara a quo.
Bahwa di dalam persidangan ahli dari pihak Pemerintah, Achmad Roestandi yang mengatakan bahwa perkara ini, bukanlah judicial review, melainkan legislative review, pendapat tersebut haruslah ditolak. Tidak ada pembatasan kategoris, apakah suatu naskah undang-undang yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, harus dilakukan review melalui badan legislatif untuk mencabut dan merubah pasal tersebut, atau membatalkannya melalui putusan mahkamah konstitusi. Baik judicial review maupun legislative review adalah pilihan-pilihan yang ditempuh oleh siapa saja yang berkepentingan.
Oleh karena pemohon adalah persorangan warga negara Indonesia yang merasa hak-hak konstitusional saya dirugikan dengan berlakunya sebuah undang-undang, dan Pemohon bukan pula Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang memiliki kewenangan legislasi, dan bukan pula bawahan Presiden Republik Indonesia, maka pilihan yang paling tepat bagi Pemohon adalah mengajukan masalah ini sebagai perkara Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi. Menyatakan bahwa perkara a quo adalah termasuk ke dalam kategori legislative review tidakah bermakna meniadakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus perkara ini sebagai perkara Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945.
2. Pemohon Mempunyai Legal Standing
Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang sah, yang hak-hak konstitusionalnya telah dilanggar akibat pelaksanaan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan yang multi tafsir. Sebagaimana terungkap dalam sidang, terungkap fakta bahwa dalam pembahasan RUU Kejaksaan tahun 2004, berapa lama masa jabatan Jaksa Agung memang tidak disebutkan dalam undang-undang.
Para penyusun undang-undang, baik dari kalangan Pemerintah maupun DPR sama-sama menyepakati bahwa karena Kejaksaan adalah lembaga pemerintah, dan Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Dipahami pula, bahwa Jaksa Agung selalu menjadi bagian dari kabinet dengan kedudukan setingkat menteri negara. Konvensi ketatanegaraan juga menunjukkan bahwa sejak tahun 1961, Jaksa Agung selalu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden di awal dan di akhir kabinet, kecuali terjadi resuffle kabinet dan Jaksa Agung digantikan dengan pejabat yang baru. Namun pejabat yang baru ini hanya akan meneruskan sisa masa jabatan Jaksa Agung yang digantikannya.
Tafsir historis dan konvensi di atas diabaikan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, yang mengangkat Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung ”Kabinet Indonesia Bersatu” berdasarkan Keppres Nomor 31/P Tahun 2007 mengantikan Abdul Rahman Saleh, yang seharusnya berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan Presiden dan masa bakti Kabinet Indonesia Bersatu tanggal 20 Oktober 2009. Setelah itu tidak pernah ada pengangkatan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung, sehingga Pemohon berpendapat bahwa kedudukan Hendarman sebagai Jaksa Agung setelah 20 Oktober 2009 adalah tidak sah. Sebagaimana terungkap dalam sidang, Kejaksaan merupakan sesuatu kesatuan yang tidak terpisah-pisahkan. Tidak ada langkah kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh seorang jaksa tanpa dilakukan melalui jalur hierarki birokrasi Kejaksaan.
Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung yang tidak sah itu, kemudian menyatakan pemohon sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi, dan kemudian berdasarkan persetujuannya, Direktur Penyidikan atas nama Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, memanggil Pemohon untuk diperiksa sebagai tersangka. Sementara Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, M. Amari, SH, adalah pejabat yang diusulkan oleh Hendarman Supandji yang menduduki jabatan secara tidak sah, sehingga pengangkatan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus tersebut mengandung cacat hukum.
Hendarman Supandji kemudian menerbitkan Surat Keputusan yang mencegah saya meninggalkan wilayah negara RI dengan alasan terlibat dalam suatu tindak pidana. Tindakan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung yang tidak sah itu jelas-jelas telah melanggar hak-hak konstitusional Pemohon sebagai warganegara yang bebas dan dijamin hak-haknya untuk diperlakukan dengan hukum yang mengandung kepastian dan keadilan. Semua ini terjadi akibat salah menafsirkan dan menerapkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004, sehingga seorang pejabat yang telah habis masa jabatannya dapat melakukan tindakan-tindakan yang seolah-olah sah, sehingga merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara. Dengan demikian, maka pemohon jelas memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan a quo kepada Mahkamah Konstitusi.
Berkenaan dengan legal standing Pemohon, Pemerintah menyatakan ”pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak dalam permohonan Pengujian Undang-Undang a quo sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu...”. Oleh karena Pemerintah tidak menyanggah dalil-dalil Pemohon bahwa Pemohon memiliki legal standing, dan menyerahkan kepada Majelis Hakim untuk menilai dan memutuskan apakah Pemohon mempunyai kedudukan hukum atau tidak.
Sementara itu, Ahli dari Pemerintah, Achmad Rustandi menyanggah kedudukan hukum Pemohon dengan alasan bahwa kerugian Pemohon tidaklah terjadi karena multi tafsir Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004, melainkan pada KUHAP dan undang-undang lain karena Pemohon dijadikan sebagai tersangka tindak pidana. Sebab, menurut Roestandi, andaikata Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Jaksa Agung Hendarman Supandji tidak sah, dan sebelum maupun sesudah itu Presiden melantik Jaksa Agung yang baru dan sah, maka Jaksa Agung yang baru ini tetap saja dapat menyatakan Pemohon sebagai tersangka, menahan dan menuntutnya ke pengadilan. Pemohon berpendapat bahwa argumen Roestandi haruslah ditolak, karena pemohon sejak awal tidak pernah merasa dirugikan dengan berlakunya KUHAP maupun UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang disangkakan kepada Pemohon. Bagi pemohon kerugian terletak pada Jaksa Agung yang tidak sah dan tidak berwenang yang menetapkan Pemohon sebagai tersangka.
Dalam persidangan pemohon telah menyanggah keterangan Roestandi dengan memberikan contoh, seseorang yang mengendarai sepeda motor tiba-tiba dihentikan, digelandang dan ditahan oleh seorang polisi gadungan, jelas orang tersebut merasa dirugikan karena dia diperlakukan sewenang-wenang oleh seorang yang bertindak tidak sah sebagai seorang polisi. Orang tersebut tentu tidak akan mempersoalkan penahanan itu jika sekiranya dia mengetahui bahwa yang menahan itu adalah polisi yang sah, yang harus dihormati sebagai penegak hukum. Oleh karena Pemerintah menyerahkan kepada Majelis Hakim untuk memutuskan apakah Pemohon mempunyai kedudukan hukum atau tidak, sementara keterangan ahli Achmad Roestandi tidak beralasan, maka Pemohon berkesimpulan sudah sepantasnya bagi Majelis Hakim untuk memutuskan bahwa dalam perkara ini, Pemohon mempunyai kedudukan hukum yang sah.
3. Pokok Perkara Yang Pemohon Ajukan Adalah Beralasan
Pokok perkara yang pemohon ajukan ialah pengujian ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d ini terkait dengan ketentuan Pasal 19 UU Nomor 16 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d mengatakan bahwa Presiden memberhentikan Jaksa Agung dengan hormat dari jabatannya karena ”berakhir masa jabatannya”. Sementara berapa lamakah masa jabatan Jaksa Agung itu, UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan samasekali tidak mengaturnya. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Pemohon berpendapat bahwa jabatan di dalam negara hukum yang menganut asas kedaulatan rakyat, tidaklah dapat diterima adanya jabatan yang tanpa batas atau jabatan seumur hidup.
Jabatan yang tidak mengenal batas waktu adalah juga bertentangan dengan asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam persidangan pemohon telah menjelaskan bahwa, ketiadaan pengaturan tentang masa jabatan Jaksa Agung di dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 sebenarnya dapat dipahami dengan merujuk kepada penafsiran historis penyusunan undang-undang tersebut dan merujuk kepada konvensi, yakni praktik ketatanegaraan tentang masa jabatan Jaksa Agung. Ketika membahas RUU Kejaksaan di tahun 2004, di DPR terdapat dua RUU, satu RUU dari Badan Legislasi DPR dan satu lagi dari Pemerintah. Dalam pembahasan disepakati bahwa RUU dari Badan Legislasi dijadikan sebagai pokok bahasan dan RUU dari Pemerintah dijadikan sandingan dan dimasukkan ke dalam Daftar Isian Masalah (DIM).
Dalam RUU Badan Legislasi Kejaksaan ingin dijadikan sebagai badan yang ”mandiri” lepas dari ranah kekuasaan eksekutif sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI. Hal ini berimplikasi pada rekruitment Jaksa Agung yang akan diajukan oleh Presiden namun dipilih oleh DPR dan nama yang terpilih itu disahkan oleh Presiden. Dalam RUU ini disebutkan masa jabatan Jaksa Agung adalah 5 (lima) tahun. Sementara RUU dari pemerintah menghendaki rumusan yang tetap sama dengan UU Nomor 5 Tahun 1991 yang menempatkan Kejaksaan sebagai lembaga pemerintah yang berada dalam ranah kekuasaan eksekutif. Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, tanpa melalui pemilihan oleh DPR. Dalam pembahasan panjang dan melelahkan, akhirnya Pemerintah dan DPR menyepakati bahwa usulan Pemerintah bahwa dalam UU Kejaksaan yang baru, Kejaksaan tetap menjadi lembaga pemerintah dan Jaksa Agung diangkat serta diberhentikan oleh Presiden.
Ketika sampai pada kesepakatan di atas, baik Pemerintah maupun DPR memandang pembatasan masa jabatan Jaksa Agung tidak relevan untuk dibahas. Karena dalam praktiknya Jaksa Agung adalah pejabat setingkat menteri negara dan menjadi anggota kabinet (ini dikemukakan oleh Andi Hamzah, M Tahir Saimima dan lain-lain), maka masa jabatan Jaksa Agung akan disesuaikan oleh Presiden dengan masa jabatannya serta masa bakti kabinet. Pemohon juga mengemukakan argumen lain dengan merujuk pada konvensi ketetanegaraan, bahwa sejak Kabinet Kerja I pada tahun 1957, Jaksa Agung selalu menjadi anggota kabinet, baik sebagai menteri maupun sebagai pejabat setingkat menteri negara, yang pengangkatannya dilakukan Presiden diawal dan diakhir masa bakti kabinet. Konvensi ini diikuti oleh Presiden Sukarno, Suharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono ketika membentuk Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I melalui Keppres Nomor 187/M Tahun 2004.
Konvensi ketatanegaraan yang telah berlangsung lebih dari setengah abad itu sangatlah kuat kedudukannya. Prof. Soepomo mengatakan bahwa UUD adalah hukum dasar yang tertulis, sementara di samping hukum dasar yang tertulis itu ada hukum dasar yang tidak tertulis yakni kebiasaan-kebiasaan yang timbul dalam praktik penyelenggaraan negara. Berdasarkan dua rujukan ini, yakni rujukan kepada tafsir historis dan konvensi, maka Pemohon berkesimpulan bahwa Jabatan Jaksa Agung bukanlah jabatan yang tak terbatas, apalagi jabatan seumur hidup. Jadi ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa Presiden memberhentikan dengan hormat Jaksa Agung dari jabatannya karena ”berakhir masa jabatannya” sebenarnya dapat dimengerti jika ditafsirkan bahwa masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden dan masa bakti kabinet di mana Jaksa Agung itu menjadi bagian dari kabinet itu.
Argumen yang Pemohon kemukakan di atas dibenarkan oleh fakta yang terjadi dalam praktik pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung sebagaimana dikemukakan oleh saksi fakta Prof. Erman Rajagukguk sebagai mantan Wakil Sekretaris Kabinet. Jaksa Agung, kata Prof. Erman selalu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden di awal dan diakhir masa bakti kabinet. Sementara Ahli Prof. Bagir Manan mengemukakan pendapat bahwa Jaksa Agung sebagai Jaksa berakhir masa jabatannya karena memasuki usia pensiun. Sementara Jaksa Agung sebagai pejabat setingkat menteri negara dan anggota kabinet, maka jabatannya itu berakhir bersama-sama dengan anggota kabibet yang lain.
Prof. Bagir Manan menegaskan bahwa merujuk kepada Keppres Nomor 187/M Tahun 2004 dan Keppres Nomor 31/P Tahun 2007, maka jabatan Hendarman Supandji telah berakhir pada tanggal 20 Oktober 2009. Sejak itu dia menduduki jabatan itu secara tidak sah. Segala tindakan yang dilakukan oleh pejabat yang tidak sah, tidaklah membawa akibat hukum.
Prof. Laica Marzuki mengatakan bahwa Jaksa Agung adalah publieke ambt atau jabatan publik. Mengutip Prof. Logemann, jabatan adalah person pribadi hukum yang bersifat abstrak yang tidak dapat menjalankan fungsi dan kewenangannya. Karena itu ia harus diwakili oleh pemegang jabatan atau ambtsdrager. Jabatan bersifat langgeng dan abadi, sementara pemegang jabatan atau ambtsdrager datang dan pergi silih berganti. Melihat pada kenyataan Hendarman Supandji,
Prof. Laica Marzuki mengatakan bahwa masa jabatannya berdasarkan Keppres Nomor 187/M Tahun 2004 berakhir pada tanggal 20 Oktober 2009. Namun sejak itu dia tidak pernah diangkat kembali, baik sebagai Jaksa Agung yang menjadi anggota kabinet maupun di luar kabinet. Dengan demikian, Hendarman telah mewakili jabatan het ambt Jaksa Agung secara terus-menerus dengan masa jabatan yang tak kunjung berakhir. Ini semua akibat multi tafsir ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, yang mencederai asas kedaulatan rakyat dan asas kepastian hukum di dalam UUD 1945.
Prof. HAS Natabaya pada pokoknya menerangkan hal yang sama dengan kedua ahli, dan sama-sama merujuk kepada teori Prof. Logemann. Prof. Natabaya menambahkan bahwa ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 bertentangan dengan asas beginselen van behoorlijk regelgeving atau asas pembentukan perundang-undangan yang baik, sebagaimana juga diatur dalam Pasal 6 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Ketentuan ini tidak memenuhi syarat adanya kepastian hukum. Pemohon sependapat dengan keterangan ahli Prof. Bagir Manan, Prof. Laica Marzuki dan Prof. HAS Natabaya, dan dua ahli lain yang menguatkan pendapat mereka, yakni Dr. Margarito Khamis dan Dr. Andi M Asrun.
Sementara itu ahli yang diajukan Pemerintah Achmad Roestandi mengatakan bahwa kalau Jaksa Agung pensiun diukur dengan usia, maka undang-undang tidak mengatur hal itu, sehingga bisa saja Jaksa Agung dijabat seumur hidup. ”Dan jangan khawatir kalau Jaksa itu seumur hidup itu lalu tidak demokratis. Karena tidak selalu bahwa demokrasi itu harus ada masa jabatan”. ”Jaksa Agung itu for life, jadi sumur hidup, tidak jadi masalah”. Kalau ini mau dirubah, maka perubahan itu bukan di Mahkamah Konstitusi, melainkan di DPR. Roestandi mengakui bahwa keterangan saksi Prof. Erman Radjagukguk bahwa ada tradisi yang telah baku sehubungan dengan pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung, tetapi ”kalau tradisi itu diubah tidak masalah”, apalagi dikaitkan dengan UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara di mana ”disebutkan dengan tegas bahwa Jaksa Agung itu merdeka”. Jadi tidak terikat lagi bahwa Jaksa Agung harus masuk kabinet atau di luarnya. ”Nah demikian pula pada pembubarannya, tidak satupun kata yang menyebut Hendarman” sehingga ”bagaimana mau diangkat kalau dia masih tidak diberhentikan?”.
Pendapat Roestandi ini tidak mengandung kejelasan argumen, karena UU Nomor 39 Tahun 2008 tidak satu katapun menyebut tentang Kejaksaan Agung dan Jaksa Agung. Inti masalah mengenai kedudukan Hendarman sehubungan dengan Keppres Nomor 187/M Tahun 2004 dan Keppres Nomor 31/P Tahun 2007, tidak disinggung sama sekali. Jaksa Agung bisa saja diangkat menjadi anggota kabinet berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2008, bisa juga tidak.
Fakta yang terungkap dalam sidang ialah, berdasarkan Keppres Nomor 187/P Tahun 2004 dan Keppres Nomor 31/P Tahun 2007, jabatan Hendarman Supandji berakhir tanggal 20 Oktober 2009, dan sejak itu dia tidak pernah diangkat kembali menjadi Jaksa Agung.
Prof. Philipus Hadjon bergargumen bahwa secara ius constitutum, ada Keppres pengangkatan Hendarman sebagai Jaksa Agung, tetapi sampai saat ini belum pernah ada Keppres pemberhentian Hendarman sebagai Jaksa Agung, oleh karena itu Hendarman tetap sah sebagai Jaksa Agung. Argumen ini haruslah ditolak karena masa jabatan seorang pejabat negara dalam ranah eksekutif tidak dapat didasarkan kepada diskresi Presiden, sebagaimana jabatan struktural lembaga pemerintahan non kementerian. Masalahnya tidaklah sederhana, karena belum dicabut maka Hendarman tetap sah sebagai Jaksa Agung, tanpa memperhatikan kondisi termijn jabatan sebagaimana tertuang di dalam konsideran Keppres Nomor 187/M Tahun 2004 dan Keppres Nomor 31/P Tahun 2007.
Pemohon membantah pendapat Prof. Hadjon bahwa konsideran tidak membawa implikasi hukum dalam menafsirkan diktum dalam suatu naskah hukum. Dalam sistem hukum Eropa Kontitental jelas konsideran membawa implikasi pada penafsiran diktum. Kalau konsideran tidak ada implikasinya, maka kita tidak dapat menyebut bahwa dasar negara kita adalah Pancasila, karena hal itu hanya ada di dalam konsideran UUD 1945, bukan didalam artikelnya. Pancasila juga tidak perlu dijadikan sebagai sumber hukum, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2004.
Dr. M Fadjrul Fallakh menegaskan bahwa UU Nomor 16 Tahun 2004 tidak mengatur masa jabatan Jaksa Agung sebagai pejabat negara. Namun dia menolak jika jabatan Jaksa Agung dikaitkan dengan masa jabatan sebagai anggota kabinet, dengan alasan bahwa Jaksa Agung tidak boleh merangkap pejabat negara yang lain, termasuk merangkap jabatan menjadi menteri. Fallakh ini keliru memahami bahwa Jaksa Agung adalah anggota kabinet dengan kedudukan setingkat Menteri Negara, yang dianggapnya seolah-olah Jaksa Agung merangkap jabatan sebagai menteri. Fallakh juga mengemukakan pendapat bahwa sebagai political appointee, Jaksa Agung ”diberhentikan dengan hormat dari jabatannya diakhiri bersamaan dengan berakhirnya jabatan Presiden”. Namun perlukah Keppres pemberhentian dan pengangkatan kembali kalau orangnya sama? ”Kalau untuk keperluan tulis-menulis Keppres mungkin saja Keppres yang berlaku surut”. Jadi ”berdasarkan presumption of legality, Jaksa Agung tetap dijabat orang yang sama karena memang tidak ada Keppres pemberhentian Jaksa Agung.” Pendapat Fallakh ini melepaskan konteks Presiden yang mengangkat Jaksa Agung itu sebenarnya sudah berbeda dengan periodenya dengan Presiden sebelumnya.
Pemilihan Presiden bukanlah terpisah, melainkan dilakukan perpasangan calon, sebagaimana juga terutuang dalam Keppres Nomor 187/M Tahun 2004. Dahulu adalah periode pemerintahan SBY Jusuf Kalla, dan kini adalah periode SBY Boediono. Argumen tata usaha negara yang digunakan Fallah tidaklah dapat menyampingkan konvensi ketatanegaraan yang kedudukannya lebih tinggi daripada sebuah asumsi dalam hukum administrasi negara. Bahwa Sri Mulyani Indarwati adalah Menteri Keuangan dalam KIB I dan diberhentikan diakhir masa bakti kabinet dan kemudian diangkat lagi sebagai Menteri Keuangan dalam KIB II.
Konvensi semacam ini telah berlaku pada semua kabinet Republik Indonesia baik kabinet parlementer zaman Revolusi sampai tahun 1959 maupun Kabinet presidensial pada zaman sesudahnya. Pemohon ini saja tiga kali menjadi Menteri Kehakiman dan HAM dalam tiga kabinet yang berbeda, tetap melalui proses pengangkatan, pemberhentian, dan pengangkatan kembali.
Ahli selanjutnya, Dr. Denny Indrayana dan Dr. Adnan Buyung Nasution, Pemohon memohon agar Majelis Hakim tidak mempertimbangkan keterangan kedua ”ahli” ini mengingat ketika kedua mereka terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan Keppres Nomor 83/P Tahun 2009 tentang pembubaran Kabinet Indonesia Bersatu yang kemudian menjadi kontroversial karena Hendarman Supandji yang menjadi Jaksa Agung dengan kedudukan setingkat menteri negara dalam Keppres Nomor 31/P Tahun 2007 tidak diberhentikan, dan dianggap tetap sah sebagai Jaksa Agung. Denny Indrayana bahkan mengaku bahwa dia terlibat secara langsung dalam penyusunan Keppres Nomor 83/P Tahun 2009 dalam kedudukannya sebagai Staf Khusus Presiden.
Dr. Adnan Buyung Nasution ketika itu adalah Anggota Wantimpres Bidang Hukum. Karena kedua orang ini adalah staf Presiden, maka tempat mereka lebih tepat berada satu deretan dengan Menhukham Patrialis Akbar yang mewakili Presiden,dan bukannya tampil sebagai ahli. Bagaimana mungkin kedua orang ini akan di dengar sebagai ahli – yang semestinya adalah akademisi yang netral dan tidak berpihak dan memberikan keterangan sesuai dengan keahliannya --- kalau mereka sendiri terlibat dalam pokok masalah yang diperkarakan dalam persidangan ini.
Oleh karena Pemohon berpendapat demikian, maka pendapat kedua ”ahli” tersebut tidak perlu Pemohon tanggapi pada kesimpulan ini.
4. Dalil-Dalil Pemohon mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan
Republik Indonesia (“UU No. 16 Tahun 2004”)
A. PEMOHON BERHAK ATAS PENGAKUAN, JAMINAN, PERLINDUNGAN, DAN KEPASTIAN HUKUM YANG ADIL DALAM NEGARA HUKUM
Bahwa secara yuridis Undang-Undang Dasar 1945 memberikan jaminan yang sangat kuat bagi pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1), menyediakan instrumen berupa hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
B. PASAL 22 AYAT (1) HURUF D UU NOMOR 16 TAHUN 2004 MENIMBULKAN KETIDAKPASTIAN HUKUM KARENA TIDAK MEMBERIKAN KEJELASAN BATAS MASA JABATAN JAKSA AGUNG
1. Bahwa tafsiran yang benar dan konstitusional atas ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 dihubungkan dengan Pasal 1 dan Pasal 28D ayat (1) adalah tafsir yang menyatakan bahwa masa jabatan Jaksa Agung adalah sesuai dengan masa bakti kabinet. Atau jikapun terdapat tafsir lain dengan menyatakan Jaksa Agung berada di luar kabinet, maka seharusnya dalam surat pengangkatannya oleh Presiden haruslah mencantumkan secara tegas berapa lama masa jabatan Jaksa Agung yang diangkat tersebut;
2. Bahwa dalam negara hukum yang demokratis segala jabatan negara haruslah dibatasi limit waktunya. Bahkan terhadap jabatan Presiden secara tegas diatur oleh Pasal 7 UUD 1945, untuk waktu selama lima tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kalai masa jabatan;
C. TERDAPAT SESEORANG YANG MENDUDUKI JABATAN JAKSA AGUNG TANPA SURAT PENGANGKATAN OLEH PRESIDEN AKIBAT KESALAHAN PENERAPAN PASAL 22 AYAT (1) UU KEJAKSAAN
1. Bahwa Kabinet Indonesia Bersatu (periode 2004-2009, yang lebih dikenal sebagai KIB I) telah berakhir pada tanggal 20 Oktober 2009 bersamaan dengan berakhirnya masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla (SBY-JK).
2. Bahwa dalam Keppres Nomor 84/P Tahun 2009 tersebut tidak menyebutkan adanya pengangkatan Hendarman Supandji, S.H., CN, sebagai Jaksa Agung Republik Indonesia; sesuai dengan Bukti P-9;
3. Bahwa selain tidak diangkat melalui Keppres Nomor 84/P Tahun 2009, tidak ada pula Keppres lain yang secara khusus mengangkat Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung pasca berakhirnya kabinet pada 20 Oktober 2009, maupun pelantikan dan penyumpahan secara resmi.
D. JAKSA AGUNG TANPA DASAR PENGANGKATAN TELAH MELAKUKAN TINDAKAN-TINDAKAN HUKUM
1. Bahwa menurut Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2004, dinyatakan, “Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Kemudian pada ayat (3) dinyatakan, “Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan”.
2. Bahwa Jaksa Agung berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2004 adalah “Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan”.
3. Bahwa dalam perkara di mana Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka yang penyidikannya dilakukan oleh Penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Republik Indonesia, sebagaimana diberitakan oleh banyak Surat Kabar, mengani kerugian negara lebih dari Rp. 10 milyar dan menarik perhatian masyarakat karena selalu diberitakan oleh Surat Kabar nasional maupun TV secara nasional sesuai dengan Bukti P-10;
4. Bahwa dengan demikian maka penetapan Pemohon sebagai Tersangka dalam perkara Korupsi pada hakikatnya dilakukan oleh “Jaksa Agung Hendarman Supandji, S.H., CN”, yang sudah tidak menjabat Jaksa Agung. Penetapan tersebut adalah tidak sah, meskipun sesuai dengan tugas pokok Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan karena Jaksa Agung sebagai pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan termasuk mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan;
5. Bahwa selain menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, Jaksa Agung yang telah berakhir masa jabatannya tersebut juga telah menetapkan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia tentang pencegahan dalam perkara pidana terhadap Pemohon, terhitung sejak tanggal 25 Juni 2010 sesuai Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-212/D/Dsp.3/06/ 2010; (Bukti P- 11)
E. PASAL 22 AYAT (1) HURUF D UU KEJAKSAAN MERUGIKAN HAK-HAK KONSTITUSIONAL PEMOHON
1. Bahwa ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 telah membuka peluang bagi orang yang “mengaku dan atau menyebut diri” sebagai Jaksa Agung untuk tetap melaksanakan fungsi sebagai Jaksa Agung meskipun jabatannya telah berakhir, karena adanya ketidak kejelasan dan ketidak kepastian masa jabatan Jaksa Agung yang dapat ditafsirkan sesuai kebutuhan penafsir;
2. Bahwa Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 a quo, jika digunakan dengan ditafsirkan secara salah berpotensi untuk melanggar hukum, karena seseorang yang merasa dan tetap menganggap dirinya sebagai Jaksa Agung dapat menyalahgunakan jabatan tersebut untuk berbuat dan atau mengambil keputusan seolah-olah telah bertindak sesuai dengan hukum;
3. Bahwa Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tersebut, jika digunakan dengan ditafsirkan secara salah berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum yang adil;
4. Bahwa Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tersebut telah merugikan Pemohon secara aktual, karena:
(1) Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Penyidik Kejaksaan Agung Republik Indonesia;
(2) Pemohon telah kehilangan kebebasannya karena telah dicekal oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia;
(3) Pemohon telah kehilangan hak untuk berkomunikasi secara layak dan manusiawi;
(4) Pemohon telah mengalami intimidasi pada tanggal 1 Juli 2010 pada waktu hendak meninggalkan kantor Kejaksaan Agung Republik Indonesia;
(5) Pemohon telah mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, karena adanya pembatasan yang tidak patut untuk untuk meninggalkan Kejaksaan Agung pada tanggal 1 Juli 2009;
(6) Pemohon telah dicegah untuk bepergian keluar negeri berdasarkan Keputusan dari pejabat yang tidak sah, terhitung sejak tanggal 25 Juni 2010.
F. PASAL 22 AYAT (1) HURUF D UU KEJAKSAAN MENJADI INKONSTITUSIONAL JIKA TIDAK MEMILIKI PENAFSIRAN YANG PASTI
1. Bahwa sebagaimana uraian di atas, karena tidak ada ketentuan dalam UU Kejaksaan sendiri mengenai “berakhirnya masa jabatan” Jaksa Agung, maka Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan menimbulkan multi-tafsir; 2. Bahwa Pemohon juga menyadari, disatu sisi apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, dapat terjadi kekosongan hukum (wetsvacuum) mengenai alasan pemberhentian Jaksa Agung.
3. Oleh karena itu untuk mengatasi kekosongan hukum (wetsvacuum) tersebut, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk dapat memberikan tafsir konstitusional atas Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004, agar dapat konstitusional dan memberikan batasan penafsiran agar tidak terjadi inkonstitusionalitas.
PETITUM
Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, dengan ini Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Konstitusi Yang Terhormat agar berkenan memberikan putusan sebagai berikut:
Dalam Provisi:
1. Menerima permohonan Provisi Pemohon;
2. Memerintahkan kepada Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk menghentikan penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor Print-79/F.2/ Fd.1/06/2010 tanggal 24 Juni 2010, melanggar Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 12 huruf i UU Nomor 31 Tahun 2009 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001; setidak-tidaknya sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo yang berkekuatan hukum tetap;
3. Memerintahkan kepada Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk mencabut dan atau membatalkan Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-212/D/Dsp.3/06/2010 tentang Pencegahan dalam perkara pidana setidak-tidaknya sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo yang berkekuatan hukum tetap;
Dalam Pokok Perkara:
1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sepanjang tidak ditafsirkan sesuai masa jabatan Presiden dan masa jabatan anggota kabinet;
3. Menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya, sepanjang tidak ditafsirkan sesuai masa jabatan Presiden dan masa jabatan anggota kabinet;
4. Atau apabila Majelis Hakim Kons (pdapolindo)
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
(Sambungan Bagian 5)
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas, Pemerintah memohon kepada yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus dan mengadili permohonan pengujian ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
a. Dalam Provisi:
Adanya permohonan Pemohon agar Kejaksaan Agung untuk menghentikan atau sekurang-kurangnya menunda penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor Print-79/F.2/Fd.1/06/2010 dan Surat Keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP-212/D/ Dsp.3/06/2010 tentang Pencegahan dalam perkara pidana, sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang berkekuatan hukum tetap.
Menurut Pemerintah, karena tindakan hukum yang demikian bersifat kongkrit, maka permohonan tersebut di atas merupakan ranah kewenangan lembaga Peradilan Umum atau Peradilan Tata Usaha Negara untuk memutuskannya, dan bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang menguji materi muatan norma yang bersifat abstrak.
b. Dalam Pokok Permohonan Pengujian:
1. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
2. Menyatakan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Untuk menguatkan keterangannya, Pemerintah mengajukan ahli-ahli yang telah didengarkan keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 24 Agustus 2010 pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
1. Letjen (Purn.) Achmad Roestandi, S.H.
Pasal 24 UUD 1945 menyatakan secara tegas bahwa kekuasaan kehakiman hanya dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan jajarannya dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Walau demikian, Kejaksaan itu ada kaitannya dengan kekuasaan kehakiman;
Dalam Undang-Undang Kejaksaan ditegaskan bahwa Kejaksaan merupakan lembaga yang merdeka. Artinya, di dalam penuntutan Kejaksaan tidak tunduk dan tidak di bawah Presiden, tetapi secara struktural memang Kejaksaan ada di bawah Presiden;
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 memberikan keleluasaan, delegasi wewenang yang sangat besar kepada pembentuk undang-undang yaitu DPR dan Presiden untuk menentukan segala sesuatu tentang Kejaksaan.
Kerugian konstitusional Pemohon tidak tepat, karena sepanjang Undang-Undang lain yang berkaitan dengan acara pidana masih ada maka kerugian konstitusional Pemohon masih ada;
Jaksa adalah merupakan genus yang dibedakan spesiesnya menjadi Jaksa Agung dan Jaksa bukan Jaksa Agung. Jaksa Agung adalah Pejabat Negara sedangkan Jaksa bukan Jaksa Agung bukan Pejabat Negara tetapi harus PNS, Pegawai Negeri Sipil. Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan Jaksa bukan Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung. Jaksa bukan Jaksa Agung umur minimal pengangkatan 25 sampai 35 tahun. Kalau Jaksa Agung tidak ada batasnya pengangkatannya. Jaksa bukan Jaksa Agung mempunyai syarat lain untuk diangkat yaitu harus lulus pendidikan dan latihan pendidikan Jaksa, sedangkan Jaksa Agung tidak. Akibatnya, misalnya di dalam syarat umur, Jaksa adalah 62 tahun, sedangkan Jaksa Agung bisa seumur hidup karena tidak ada ketentuan yang
mengaturnya;
Masa jabatan Jaksa Agung yang seumur hidup bukan berarti tidak demokratis karena tidak selalu demokrasi itu harus ada masa jabatan. Kalau mau mengubah aturan tersebut, maka bukan melakukan judicial review, tetapi harusnya adalah legislative review;
Terkait dengan Keppres pengangkatan Hendarman Supandji, tentunya tidak perlu ada pengangkatan lagi karena Hendarman Supandji belum diberhentikan.Hal tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi apalagi karena konstitusi itu sama sekali tidak ada rambu-rambu itu mengenai masa jabatan dan lain-lain.Oleh karena Jaksa Agung belum diberhentikan dan tidak ada pengangkatan, tetapi dengan sendirinya karena asas kontinuitas, maka Hendarman Supandji tetap sebagai Jaksa Agung yang sah;
Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai wewenang untuk menentukan umur atau untuk menentukan masa jabatan Jaksa Agung. Oleh karena itu DPR yang harus melakukan segera legislative review untuk menentukan, masa jabatan Jaksa Agung;
2. Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H.
Dari sisi hukum maka isu legalitas Jaksa Agung adalah isu dalam ranah ius constitutum, sedangkan isu tentang masa jabatan Jaksa Agung, kalau kita cermati Undang-Undang Kejaksaan Agung maka isu tersebut masuk dalam ranah ius constituendum;
Pada ranah ius constitutum titik tolak adalah Undang-Undang Kejaksaan. Pasal 19 ayat (2) UU 16/2004 menyatakan, Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Pasal 22 ayat (2) UU 16/2004 mempertegas, diberhentikan dengan Keputusan Presiden;
Asas praesumptio iustae causa (vermoeden van rechtmatugheid) berarti setiap keputusan pemerintahan harus dianggap sah sampai ada pembatalan (asas contrario sepanjang belum/tidak dibatalkan, keputusan tersebut tetap sah). Asas contrarius actus berarti setiap keputusan pemerintahan hanya dapat dibatalkan dengan keputusan pemerintahan setingkat. Asas nietigheid (kebatalan) keputusan pemerintahan berarti tidak ada keputusan pemerintah yang nietieg (batal) atau batal demi hukum (van rechtsmewe nietig) tetapi hanya dapat dibatalkan (vernietigbaar) kecuali keputusan tersebut nyata-nyata tidak didasarkan kewenangan yang sah. Oleh karena itu, berdasarkan tiga asas tersebut Hendarman tetap sah sebagai Jaksa Agung;
Komponen legalitas itu didukung oleh wewenang prosedur dan substansi. Parameter cacat yuridis adalah peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Kalau terdapat cacat dalam salah satu komponen tadi, maka berdasarkan asas praesumptio iustae causa, tidak ada keputusan pemerintahan yang batal demi hukum, kecuali nyata-nyata dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang. Dalam konteks itu, contoh yang tidak lazim dalam hukum administrasi adalah posisi Prof. Harun Al Rasyid sebagai penasihat pada zaman Presiden Abdurrahman. Begitu Abdurrahman Wahid tidak menjadi Presiden maka beliau dengan sendirinya juga tidak berwenang lagi untuk memberhentikan Prof. Harun Harun Al Rasyid. Kondisi tersebut adalah onbevoegdheid ratione tempori. Kalau beliau tidak diberhentikan oleh Presiden yang lain apakah dia tetap menjadi penasihat Presiden? Persoalannya apakah beliau masih dimanfaatkan oleh Presiden yang lain, kalau beliau tidak dimanfaatkan oleh Presiden lagi, maka posisi Pak Harun Al Rasyid itu dalam hukum dikatakan abolitie de facto;
Diktum lah yang melahirkan akibat hukum, bukan konsideran. Konsideran mengenai keputusan yang sifatnya beschikking sampai sekarang belum ada aturannya. Akan tetapi, kalau dianalogikan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, seyogianya konsiderans itu berisi tentang aspek filosofis, sosiologis dan yuridis;
Berdasarkan Pasal 20 UU 16/2004, tidak ada syarat Jaksa Agung harus seorang Jaksa. Dengan sendirinya Jaksa Agung bukan jabatan karir.
Pasal 19 UU 16/2004 menyatakan, Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, Pasal 22 ayat (2) UU 16/2004 menyatakan, dengan Keputusan Presiden. Dengan demikian, persoalannya adalah mengenai kewenangan. Hal tersebut bukanlah diskresi melainkan kewenangan presiden.
3. M. Fajrul Falaakh, S.H., M.H.
Pemohon tidak cukup menguraikan mengenai kerugian konstitusional yang diakibatkan oleh Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004. Pemohon malah memohon Mahkamah memberikan tafsir. Hal tersebut merupakan constitutional issues atau constitutional question; Andaikata telah terjadi salah tafsir sebagaimana dalil Pemohon mengenai norma pemberhentian Jaksa Agung, maka salah tafsir bukan merupakan bukti tentang timbulnya kerugian bagi Pemohon yang telah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi oleh pihak Kejaksaan. Karena menurut ketentuan dalam undang-undang ditegaskan bahwa penetapan tersangka Tipikor merupakan wewenang lembaga Kejaksaan. Jadi Kejaksaan berwenang menetapkan itu karena itu tidak ada hubungannya soal masa jabatan apalagi cuma tafsir tentang masa jabatan.
Untuk kepastian norma tentang wewenang Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung, sebaiknya Mahkamah membatalkan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004 karena berisi ketentuan tentang masa jabatan Jaksa Agung namun tanpa batasan waktu secara definitif, sehingga justru menimbulkan uncertainty dan dengan demikian tidak sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2003. Karena ketidakpastian itu, maka akibatnya norma itu juga tidak dapat dilaksanakan, sehingga tidak sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2003.
Mengenai pemberhentian Jaksa Agung, Pasal 19 UU 16/2004 menyebutkan bahwa pemberhentian Jaksa Agung diputuskan dan dilakukan oleh Presiden. Kalau untuk memenuhi kepuasan tulis-menulis, Keppres mungkin saja diterbitkan bahkan yang berlaku surut. Karenanya, masalah ini adalah masalah administrasi, maka bukan kompetensi Mahkamah. Jadi bukan masalah berlakunya undang-undang yang telah merugikan hak konstitusional Pemohon;
UU 16/2004 menentukan bahwa Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya antara lain kalau berakhir masa jabatannya. Kalau mau diterapkan pensiun pada usia 62 tahun, tidak berlaku bagi jabatan Jaksa Agung karena pensiun pada usia 62 tahun berlaku bagi Jaksa karir yaitu PNS Jaksa;
Jaksa Agung berdasarkan UU 16/2004 bukan lagi jabatan karir melainkan pejabat negara.
Jaksa Agung dilarang merangkap jabatan menteri, sehingga masa jabatan Jaksa Agung tidak boleh disamakan dengan masa jabatan menteri. Penyamaan masa jabatan Jaksa Agung dengan kabinet adalah berdasarkan konvensi;
Terdapat tiga kemungkinan mengenai pemberhentian Jaksa Agung dengan hormat apabila berakhir masa jabatannya. Pertama, maknanya adalah Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat apabila jabatan Jaksa Agung disamakan dengan jabatan fungsional Jaksa yaitu berdasarkan usia pensiun. Pemberhentian tentu saja akan dilakukan dengan Keppres. Cara ini tidak dapat diterapkan pada Jaksa Agung karena memang Jaksa Agung bukan jabatan karir. Kedua, Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat karena masa jabatannya diakhiri bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan Presiden. Pemberhentian ini akan mengakibatkan kekosongan jabatan pimpinan Kejaksaan, sehingga Jaksa Agung baru harus segera diangkat. Namun perlukah Keppres pemberhentiaan dan pengangkatan kembali Jaksa Agung kalau orangnya sama? Untuk kepuasan tulis menulis, mungkin saja diterbitkan Keppres yang berlaku surut. Andaikata Keppres semacam ini diterbitkan, maka Keppres itu berkedudukan sebagai dokumen alat bukti pengangkatan Jaksa Agung yang kesahannya tunduk kepada wewenang pejabat yang mengangkatnya. Menurut kaidah TUN, tindakan tidak menerbitkan surat keputusan tentang sesuatu harus diartikan bahwa pejabat TUN tersebut telah memutus sesuai tindakan yang tidak dituangkan dalam suatu surat atau dokumen tertulis. Hal tersebut merupakan presumption of legality. Ketiga, Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat, apabila dia diberhentikan oleh Presiden, karena memang masa jabatan seseorang sebagai Jaksa Agung dimulai berdasarkan Keppres pengangkatannya dan berakhir berdasarkan Keppres pemberhentiannya siapapun Presidennya;
Norma utama (primary rule) adalah bahwa Jaksa Agung itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Secondary rule adalah kapan harus diangkat, kapan harus diberhentikan, bagaimana caranya mengangkat, bagaimana cara memberhentikan. Primary rule yang dituangkan di dalam Pasal 19 UU 16/2004 sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis bahwa sudah seharusya jabatan publik termasuk jabatan Jaksa Agung, Jaksa Agungnya tidak mengangkat diri sendiri dan tidak memberhentikan diri sendiri. Artinya, Jaksa Agung bergantung kepada keputusan politik dari pejabat yang berwenang;
Mengenai kedudukan Jaksa Agung, dengan jelas Undang-Undang menentukan bahwa Jaksa Agung itu sekarang adalah pejabat negara dan dilarang merangkap jabatan negara lainnya. Dengan demikian, Jaksa Agung bukan Menteri. Penyebutan kedudukan setingkat Menteri itu cuma kaitannya dengan penggajian dan lain-lain.
4. Prof. Dr. (Iur.) Adnan Buyung Nasution, S.H.
Tidak benar masa jabatan Jaksa Agung tidak diatur, sebab berdasarkan Pasal 19 ayat (2) UU 16/2004 ditentukan Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena meninggal dunia, permintaan sendiri, sakit jasmani atau rohani terus menerus, berakhir masa jabatannya, tidak lagi memenuhi syarat.Ditentukan pula bahwa pemberhentian itu ditetapkan dengan Keputusan Presiden;
Selama Jaksa Agung in casu Hendarman Supandji masih diangkat sebagai Jaksa Agung dengan kedudukan setingkat Menteri dengan SK Presiden Nomor 31/2007 dan tidak pernah diberhentikan dengan SK Presiden Nomor 83/P/2009, maka Jaksa Agung Hendarman Supandji masih tetap menjabat Jaksa Agung, dan oleh karena itu pula tidak perlu ada upacara pelantikan sebagai Jaksa Agung;
SK pengangkatan Jaksa Agung di masa yang lalu, sebelum Hendarman Supandji, pada umumnya selalu bersamaan dengan SK Presiden tentang Pengangkatan Menteri Negara dan Jaksa Agung dengan kedudukan Setingkat Menteri Negara. Begitu pula SK pemberhentiannya juga memberhentikan Menteri Negara dan Jaksa Agung dalam satu nafas. Akan tetapi, pada waktu pengangkatan Kabinet Indonesia bersatu II berdasarkan SK Presiden Nomor 83/P/2009 yang diangkat hanya para Menteri Negara dan sama sekali tidak menyebutkan kedudukan Jaksa Agung. Hal ini menunjukkan bahwa administrasi aparat kabinet kurang cermat namun hal itu tidak berarti cacat hukum ataupun tidak sah alias ilegal, apalagi menganggap seluruh keputusan atau kebijakan serta tindakan atau perintah dan/atau persetujuan yang diberikan oleh Jaksa Agung sebagai Jaksa Agung adalah batal demi hukum;
Kalaupun ada kerugian yang dirasakan oleh Pemohon, maka kerugian itu adalah konsekuensi dari posisi Pemohon sebagai Tersangka yang berada dalam ranah hukum pidana, bukan ranah sengketa konstitusional yang menjadi kewenangan Mahkamah;
Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan één en ondeelbaar, tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa setiap tindakan Jaksa keabsahannya tergantung pada sah tidaknya Jaksa Agung in casu Hendarman Supandji. Jaksa Agung boleh silih berganti, kedudukannya pun bisa sah dan tidak sah, tetapi para Jaksa sebagai satu kesatuan dalam institusi Kejaksaan tetap exist dan sah bekerja dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya;
Pengertian satu dan tidak terpisahkan, landasan dalam melaksanakan tugas dan wewenang di bidang penuntutan yang tujuannya adalah agar ada satu kebijakan dalam penuntutan, sehingga andaikata pun dalam menjalankan penuntutan seorang Jaksa gugur ataupun berhalangan, maka tugas kegiatan penuntutan oleh Kejaksaan tidak berhenti ataupun berubah, melainkan tetap berlangsung sekaligus dilakukan oleh Jaksa lainnya;
Jabatan negara setingkat dengan menteri artinya hak-hak keuangannya, administrasinya, fasilitas-fasilitas lainnya itu diberikan setingkat dengan Menteri Negara. Permasalahan yang diajukan Pemohon bukan ranah Mahkamah Konstitusi, tetapi mungkin ranah dari peradilan umum;
Masa jabatan Jaksa Agung bukan tidak ada batasnya atau seumur hidup karena jelas dikatakan bahwa Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Jadi ada masa jabatan, yaitu diangkat sampai dengan diberhentikan. Terdapat diskresi Presiden untuk melihat apakah Jaksa Agung capable atau tidak capable.
5. Denny Indrayana, S.H., L.L.M., Ph.D
Kalaupun ada jabatan seumur hidup bukan berarti bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi. Alternatif Jabatan seumur hidup justru dapat sangat berkaitan dan sangat menguatkan prinsip independensi satu lembaga;
Kapolri, Panglima TNI, dan Jaksa Agung bukan anggota kabinet. Anggota kabinet itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008, sedangkan Kapolri, Panglima TNI, dan Kejaksaan diatur dengan Undang-Undang masing-masing;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 menegaskan bahwa kabinet itu terdiri dari maksimal 34 kementerian saja dan itulah yang menjadi dasar Keppres terakhir, Kabinet Indonesia Bersatu II mengangkat 34 orang, di luar 34 orang ini bukan anggota kabinet.
Setingkat Menteri Negara, bukan berarti Menteri Negara. Pada Keppres disebutkan ”Setingkat Menteri Negara”. Menteri Negara dan Setingkat Menteri Negara adalah dua hal yang berbeda, selain dari diksinya berbeda tingkat di sini hanya terkait dengan masalah-masalah administrasi, terkadang protokoler;
Sepanjang Keppres Tahun 2007, yang terkait dengan Hendarman Supandji belum dicabut, maka dasar hukum Hendarman masih menggunakan Keppres tersebut;
Terdapat konvensi ketatanegaraan bahwa masa jabatan Jaksa Agung sama dengan kabinet;
Terdapat perubahan ketentuan, yaitu: perubahan Undang-Undang Dasar yang menyebutkan Pasal 24 ayat (3), yang kemudian menjadi cantolan bagi Undang-Undang Kejaksaan, termasuk Undang-Undang KPK dan sejenisnya; UU 16/2004 menambahkan kata-kata ‘Merdeka’ dan ‘Merdeka’ berarti bebas dari pengaruh pemerintah, yang tidak ada dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991; selain itu, terdapat Undang-Undang Kementerian Negara;
Kata ‘Merdeka’ dalam konstitusi hanya terkait masalah kekuasaan kehakiman. Kalau dikaitkan dengan pemberantasan korupsi oleh unsur eksekutif dalam konteks politik hukum, Presiden punya politik hukum pemberantasan korupsi.Jaksa Agung dalam konteks ini adalah Lembaga Pemerintah yang melakukan itu, menjalankan politik hukum itu. Akan tetapi dalam penuntutan, tidak bisa kemudian dipengaruhi oleh siapapun termasuk oleh Pemerintah, termasuk oleh Presiden;
Masa jabatan pejabat negara memang berbeda-beda dan perbedaan itu merupakan politik hukum legislasi.
[2.4] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 18 Agustus 2010, pada pokoknya sebagai berikut:
A. KETENTUAN PASAL UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD TAHUN 1945.
Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang berbunyi, "Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: d. berakhir masa jabatannya".
Pemohon beranggapan ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Negara R
Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945: "Negara Indonesia adalah negara hukum".
Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945: "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PEMOHON DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA (UNTUK SELANJUTNYA DISEBUT UU NOMOR 16 TAHUN 2004).
Dalam permohonan a quo dikemukakan, dengan berlakunya Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang a quo, Pemohon sangat dirugikan hak konstitusionalnya, seperti antara lain:
1. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan, bahwa penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh Jaksa Agung dan perintah penyidikannya didasarkan atas Surat Perintah Penyidkan Direktur Penyidikan atas nama Jaksa Agung Muda Tlndak Pidana Khusus yang diangkat oleh Presiden atas usul seorang Jaksa Agung yang memiliki ketidakjelasan legalitas penerapan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang a quo yang multi-tafsir. Sementara Jaksa Agung yang mengambil keputusan itu adalah seorang Jaksa Agung yang tidak memiliki kejelasan legalitas, akibat penerapan yang multi-tafsir terhadap ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang a quo (vide Permohonan angka 8 hal. 4-5).
2. Bahwa menurut Pemohon Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 telah merugikan Pemohon secara actual, karena: (vide Permohonan angka 40 hal. 28-29).
a. Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Jaksa Agung RI;
b. Pemohon telah kehilangan kebebasannya karena telah dicegah untuk meninggalkan wilayah NKRI oleh Jaksa Agung RI;
c. Pemohon telah kehilangan hak untuk bekerja, melakukan berbagai kegiatan dan berkomunikasi secara layak dan manusiawi, karena Pemohon telah berstatus sebagai Tersangka tindak pidana korupsi yang sedikit-banyaknya menimbulkan kesan yang kurang baik di mata masyarakat awam yang kurang memahami asas praduga tak bersalah;
d. Pemohon telah mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan pada tanggal 1 Juli 2010 pada waktu hendak meninggalkan kantor Kejaksaan Agung RI;
e. Pemohon telah mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, karena adanya pembatasan yang tidak patut untuk meninggalkan halaman gedung Kejaksaan Agung RI pada tanggal 1 Juli 2010;
3. Bahwa Jaksa Agung Hendarman Supandji, SH, CN telah diangkat sebagai Jaksa Agung "Kabinet Indonesia Bersatu" berdasarkan Keppres Nomor 31/P Tahun 2007 tanggal 7 Mei 2007, "dengan kedudukan setinqkat Menteri Negara" untuk menggantikan Sdr. Abdurrahman Saleh yang menduduki
jabatan yang sama sebagaimana tertuang dalam Keppres Nomor 187/P Tahun 2004. (vide Permohonan angka 15 hal. 6).
4. Bahwa dalam Konsiderans huruf a Keppres Nomor 187/M Tahun 2004, disebutkan bahwa H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Yusuf Kalla adalah Presiden terpilih untuk masa jabatan 2004-2009. Dalam Konsiderans b dikatakan bahwa untuk melaksanakan tugas penyelenggaraan negara, dipandang perlu untuk "membentuk dan mengangkat Menteri Negara Kabinet Indonesia Bersatu". Dengan demikian, maka masa tugas Kabinet Indonesia Bersatu, sesuai dengan jabatan Presiden selama 5 tahun, dengan sendirinya berakhir pada tanggal 20 Oktober 2009. (vide Permohonan angka 16 hal. 6).
5. Bahwa dalam permohonan a quo dikemukakan, bahwa sampai dengan dimajukannya permohonan a quo, Hendarman Supandji, SH, CN. tidak pernah diangkat kembali sebagai Jaksa Agung RI melalui sebuah Keppres dan diketahui umum tidak pernah mengangkat sumpah jabatan dalam suatu upacara pelantikan sebagaimana layaknya seorang pejabat negara. Dengan demikian kedudukan Hendarman Supandji, SH, CN sebagai Jaksa Agung adalah tidak sah. Bahwa menurut Pemohon jabatan Jaksa Agung RI yang tidak memiliki landasan hukum maka tidak sah menurut hukum yang telah menerbitkan keputusan-keputusan, penetapan, perintah jabatan dan kebijakan yang membawa akibat hukum yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung RI yang telah berakhir masa jabatannya akibat kekliruan menafsirkan dan menerapkan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang a quo yang multi-tafsir telah memberikan ketidakpastian hukum dan menciderai jaminan perlindungan atas hukum yang adil terhadap diri Pemohon. (vide Permohonan angka 18 dan 20 hal. 7-8).
C. KETERANGAN DPR RI
Terhadap dalil-dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan a quo, pada kesempatan ini DPR dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum (legal standing) dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai Pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat UU Mahkamah Konstitusi), yang menyatakan bahwa "Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara."
Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa "yang dimaksud dengan "hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945." Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja yang termasuk "hak konstitusional".
Oleh karena itu, menurut UU Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam "Penjelasan Pasal 51 ayat (1)" dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang.
Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-111/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
c. bahwa kerugian dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam perkara Pengujian Undang-Undang a quo, maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pihak Pemohon.
Menanggapi permohonan Pemohon a quo, DPR berpandangan bahwa Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji.
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) tersebut, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulya untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-111/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007;
2. Pengujian Materil Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
1. Bahwa dalam permohonan a quo, Pemohon berpendapat yang menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang a quo menimbuikan ketidakjelsan dan ketidakpastian hukum karena tidak menentukan secara tegas batas waktu jabatan Jaksa Agung RI, sehingga dapat ditafsirkan jika tidak meninggal dunia, tidak mengajukan permintaan untuk berhenti, tidak sakit jasmani dan rohani terus-menerus, tetap memenuhi syarat sebagai Jaksa Agung RI, maka seorang Jaksa Agung RI tidak dapat diberhentikan oleh Presiden. Keadaan ini menurut Pemohon berpotensi menjadikan seorang Jaksa Agung akan memangku jabatan seumur hidup.
2. Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR berpendapat bahwa ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang a quo sudah cukup jelas dan tegas menentukan bahwa Jaksa Agung RI diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena berakhir masa jabatannya. Dalam hal ini DPR berpandangan bahwa ketentuan Pasal a quo berkaitan dengan Pasal 19 ayat (2) UU a quo yang pada pokoknya mengatur berakhirnya masa jabatan seorang Jaksa Agung RI sepenuhnya wewenang Presiden. Oleh karena menurut ketentuan Undang-Undang a quo Presiden-Iah yang mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung RI. Dengan demikian sepanjang Presiden belum mengeluarkan keputusan untuk memberhentikan Jaksa Agung RI, maka menurut hukum masa jabatan Jaksa Agung RI belum berakhir.
3. Bahwa DPR tidak sependapat dengan dalil Pemohon yang mengemukakan kedudukan Jaksa Agung RI yang setingkat dengan Menteri Negara karena diangkat dalam Kabinet Indonesia Bersatu, maka berakhirnya masa jabatan Jaksa Agung RI sama dengan berkahirnya masa kedudukan Menteri Negara dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR berpandangan bahwa kedudukan Jaksa Agung RI yang diangkat setingkat Menteri Negara dalam Kabinet Indonesia Bersatu tidaklah bermakna bahwa Menteri Negara dan Jaksa Agung RI merupakan sebuah jabatan dalam lingkup kedudukan jabatan yang sama. Mengingat Kementerian dan Jaksa Agung RI masing-masing diatur dalam Undang-Undang yang berbeda, yaitu Menteri diatur dalam UU Kementerian Negara dan Jaksa Agung RI diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Dengan demikian sesungguhnya kedudukan Jaksa Agung RI berdasarkan Undang-Undang a quo menjelaskan bahwa kedudukan Jaksa
Agung RI bukanlah bagian dari kabinet. Oleh karena itu jika ada produk hukum (Keppres) yang menyatakan bahwa Jaksa Agung RI merupakan bagian dari kabinet maka hal tersebut dapat diuji secara materiil di Mahkamah Agung.
4. Bahwa terkait dengan hal tersebut, DPR berpendapat bahwa kedudukan Jaksa Agung RI yang disetarakan setingkat dengan Menteri Negara hanya terkait dengan hak-hak administrasi dan keprotokolan sebagai pejabat negara, oleh karena itu sangat tidak relevan jika berakhirnya masa jabatan Jaksa Agung RI disamakan dan disesuaikan dengan berakhirnya masa jabatan Menteri Negara dalam Kabinet Indonesia Bersatu. sebab sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa kedudukan Menteri Negara yang diatur dalam UU Kementerian Negara, dengan kedudukan Jaksa Agung RI yang diatur dalam UU Kejaksaan RI adalah berbeda diantara keduanya.
5. Bahwa DPR tidak sependapat dengan dalil Pemohon yang mengkaitkan status Pemohon sebagai Tersangka dalam tindak pidana korupsi dengan legalitas jabatan Jaksa Agung RI yang diduduki Hendarman Supandji, SH, CN. Menurut DPR dalil Pemohon tersebut tidak relevan, sebab antara penentuan status seseorang sebagai Tersangka jelas tidak dapat dikaitkan dengan masa jabatan Jaksa Agung RI yang dipersoalkan oleh Pemohon, karena kedua hal tersebut didasarkan pada landasan yuridis yang berbeda. Penentuan sesorang berstatus sebagai Tersangka didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang secara formil diatur dalam KUHAP dan ketentuan materiil di dalam KUH Pidana. Seandainya pun sebagaimana dalil Pemohon mengenai legalitas jabatan Jaksa Agung RI dipersoalkan, tidak berarti dan tidak serta-merta proses hukum yang sudah berjalan menjadi tidak sah.
6. Bahwa berdasarkan fakta-fakta dan penjelasan yang diuraikan tersebut, DPR berpendapat bahwa ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon kiranya Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat memberikan amar putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing),sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
2. Menyatakan permohonan a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya permohonan a quo tidak dapat diterima;
3. Menyatakan Keterangan DPR diterima untuk seluruhnya;
4. Menyatakan Pasal 22 ayat (1) hururf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
5. Menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
[2.5] Menimbang bahwa pada tanggal 31 Agustus 2010, Mahkamah telah menerima kesimpulan tertulis dari Pemohon sebagai berikut:
1. Mahkamah Konstitusi Berwenang Memeriksa dan Memutus Perkara ini
Sebagaimana telah dikemukakan baik dalam sidang perbaikan permohonan maupun dalam pokok perkara, telah terungkap dengan sejelas-jelasnya bahwa perkara yang diajukan ini adalah pengujian Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena pokok perkara yang diajukan adalah pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara a quo.
Bahwa di dalam persidangan ahli dari pihak Pemerintah, Achmad Roestandi yang mengatakan bahwa perkara ini, bukanlah judicial review, melainkan legislative review, pendapat tersebut haruslah ditolak. Tidak ada pembatasan kategoris, apakah suatu naskah undang-undang yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, harus dilakukan review melalui badan legislatif untuk mencabut dan merubah pasal tersebut, atau membatalkannya melalui putusan mahkamah konstitusi. Baik judicial review maupun legislative review adalah pilihan-pilihan yang ditempuh oleh siapa saja yang berkepentingan.
Oleh karena pemohon adalah persorangan warga negara Indonesia yang merasa hak-hak konstitusional saya dirugikan dengan berlakunya sebuah undang-undang, dan Pemohon bukan pula Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang memiliki kewenangan legislasi, dan bukan pula bawahan Presiden Republik Indonesia, maka pilihan yang paling tepat bagi Pemohon adalah mengajukan masalah ini sebagai perkara Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi. Menyatakan bahwa perkara a quo adalah termasuk ke dalam kategori legislative review tidakah bermakna meniadakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus perkara ini sebagai perkara Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945.
2. Pemohon Mempunyai Legal Standing
Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang sah, yang hak-hak konstitusionalnya telah dilanggar akibat pelaksanaan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan yang multi tafsir. Sebagaimana terungkap dalam sidang, terungkap fakta bahwa dalam pembahasan RUU Kejaksaan tahun 2004, berapa lama masa jabatan Jaksa Agung memang tidak disebutkan dalam undang-undang.
Para penyusun undang-undang, baik dari kalangan Pemerintah maupun DPR sama-sama menyepakati bahwa karena Kejaksaan adalah lembaga pemerintah, dan Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Dipahami pula, bahwa Jaksa Agung selalu menjadi bagian dari kabinet dengan kedudukan setingkat menteri negara. Konvensi ketatanegaraan juga menunjukkan bahwa sejak tahun 1961, Jaksa Agung selalu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden di awal dan di akhir kabinet, kecuali terjadi resuffle kabinet dan Jaksa Agung digantikan dengan pejabat yang baru. Namun pejabat yang baru ini hanya akan meneruskan sisa masa jabatan Jaksa Agung yang digantikannya.
Tafsir historis dan konvensi di atas diabaikan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, yang mengangkat Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung ”Kabinet Indonesia Bersatu” berdasarkan Keppres Nomor 31/P Tahun 2007 mengantikan Abdul Rahman Saleh, yang seharusnya berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan Presiden dan masa bakti Kabinet Indonesia Bersatu tanggal 20 Oktober 2009. Setelah itu tidak pernah ada pengangkatan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung, sehingga Pemohon berpendapat bahwa kedudukan Hendarman sebagai Jaksa Agung setelah 20 Oktober 2009 adalah tidak sah. Sebagaimana terungkap dalam sidang, Kejaksaan merupakan sesuatu kesatuan yang tidak terpisah-pisahkan. Tidak ada langkah kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh seorang jaksa tanpa dilakukan melalui jalur hierarki birokrasi Kejaksaan.
Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung yang tidak sah itu, kemudian menyatakan pemohon sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi, dan kemudian berdasarkan persetujuannya, Direktur Penyidikan atas nama Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, memanggil Pemohon untuk diperiksa sebagai tersangka. Sementara Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, M. Amari, SH, adalah pejabat yang diusulkan oleh Hendarman Supandji yang menduduki jabatan secara tidak sah, sehingga pengangkatan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus tersebut mengandung cacat hukum.
Hendarman Supandji kemudian menerbitkan Surat Keputusan yang mencegah saya meninggalkan wilayah negara RI dengan alasan terlibat dalam suatu tindak pidana. Tindakan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung yang tidak sah itu jelas-jelas telah melanggar hak-hak konstitusional Pemohon sebagai warganegara yang bebas dan dijamin hak-haknya untuk diperlakukan dengan hukum yang mengandung kepastian dan keadilan. Semua ini terjadi akibat salah menafsirkan dan menerapkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004, sehingga seorang pejabat yang telah habis masa jabatannya dapat melakukan tindakan-tindakan yang seolah-olah sah, sehingga merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara. Dengan demikian, maka pemohon jelas memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan a quo kepada Mahkamah Konstitusi.
Berkenaan dengan legal standing Pemohon, Pemerintah menyatakan ”pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak dalam permohonan Pengujian Undang-Undang a quo sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu...”. Oleh karena Pemerintah tidak menyanggah dalil-dalil Pemohon bahwa Pemohon memiliki legal standing, dan menyerahkan kepada Majelis Hakim untuk menilai dan memutuskan apakah Pemohon mempunyai kedudukan hukum atau tidak.
Sementara itu, Ahli dari Pemerintah, Achmad Rustandi menyanggah kedudukan hukum Pemohon dengan alasan bahwa kerugian Pemohon tidaklah terjadi karena multi tafsir Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004, melainkan pada KUHAP dan undang-undang lain karena Pemohon dijadikan sebagai tersangka tindak pidana. Sebab, menurut Roestandi, andaikata Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Jaksa Agung Hendarman Supandji tidak sah, dan sebelum maupun sesudah itu Presiden melantik Jaksa Agung yang baru dan sah, maka Jaksa Agung yang baru ini tetap saja dapat menyatakan Pemohon sebagai tersangka, menahan dan menuntutnya ke pengadilan. Pemohon berpendapat bahwa argumen Roestandi haruslah ditolak, karena pemohon sejak awal tidak pernah merasa dirugikan dengan berlakunya KUHAP maupun UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang disangkakan kepada Pemohon. Bagi pemohon kerugian terletak pada Jaksa Agung yang tidak sah dan tidak berwenang yang menetapkan Pemohon sebagai tersangka.
Dalam persidangan pemohon telah menyanggah keterangan Roestandi dengan memberikan contoh, seseorang yang mengendarai sepeda motor tiba-tiba dihentikan, digelandang dan ditahan oleh seorang polisi gadungan, jelas orang tersebut merasa dirugikan karena dia diperlakukan sewenang-wenang oleh seorang yang bertindak tidak sah sebagai seorang polisi. Orang tersebut tentu tidak akan mempersoalkan penahanan itu jika sekiranya dia mengetahui bahwa yang menahan itu adalah polisi yang sah, yang harus dihormati sebagai penegak hukum. Oleh karena Pemerintah menyerahkan kepada Majelis Hakim untuk memutuskan apakah Pemohon mempunyai kedudukan hukum atau tidak, sementara keterangan ahli Achmad Roestandi tidak beralasan, maka Pemohon berkesimpulan sudah sepantasnya bagi Majelis Hakim untuk memutuskan bahwa dalam perkara ini, Pemohon mempunyai kedudukan hukum yang sah.
3. Pokok Perkara Yang Pemohon Ajukan Adalah Beralasan
Pokok perkara yang pemohon ajukan ialah pengujian ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d ini terkait dengan ketentuan Pasal 19 UU Nomor 16 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d mengatakan bahwa Presiden memberhentikan Jaksa Agung dengan hormat dari jabatannya karena ”berakhir masa jabatannya”. Sementara berapa lamakah masa jabatan Jaksa Agung itu, UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan samasekali tidak mengaturnya. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Pemohon berpendapat bahwa jabatan di dalam negara hukum yang menganut asas kedaulatan rakyat, tidaklah dapat diterima adanya jabatan yang tanpa batas atau jabatan seumur hidup.
Jabatan yang tidak mengenal batas waktu adalah juga bertentangan dengan asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam persidangan pemohon telah menjelaskan bahwa, ketiadaan pengaturan tentang masa jabatan Jaksa Agung di dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 sebenarnya dapat dipahami dengan merujuk kepada penafsiran historis penyusunan undang-undang tersebut dan merujuk kepada konvensi, yakni praktik ketatanegaraan tentang masa jabatan Jaksa Agung. Ketika membahas RUU Kejaksaan di tahun 2004, di DPR terdapat dua RUU, satu RUU dari Badan Legislasi DPR dan satu lagi dari Pemerintah. Dalam pembahasan disepakati bahwa RUU dari Badan Legislasi dijadikan sebagai pokok bahasan dan RUU dari Pemerintah dijadikan sandingan dan dimasukkan ke dalam Daftar Isian Masalah (DIM).
Dalam RUU Badan Legislasi Kejaksaan ingin dijadikan sebagai badan yang ”mandiri” lepas dari ranah kekuasaan eksekutif sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI. Hal ini berimplikasi pada rekruitment Jaksa Agung yang akan diajukan oleh Presiden namun dipilih oleh DPR dan nama yang terpilih itu disahkan oleh Presiden. Dalam RUU ini disebutkan masa jabatan Jaksa Agung adalah 5 (lima) tahun. Sementara RUU dari pemerintah menghendaki rumusan yang tetap sama dengan UU Nomor 5 Tahun 1991 yang menempatkan Kejaksaan sebagai lembaga pemerintah yang berada dalam ranah kekuasaan eksekutif. Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, tanpa melalui pemilihan oleh DPR. Dalam pembahasan panjang dan melelahkan, akhirnya Pemerintah dan DPR menyepakati bahwa usulan Pemerintah bahwa dalam UU Kejaksaan yang baru, Kejaksaan tetap menjadi lembaga pemerintah dan Jaksa Agung diangkat serta diberhentikan oleh Presiden.
Ketika sampai pada kesepakatan di atas, baik Pemerintah maupun DPR memandang pembatasan masa jabatan Jaksa Agung tidak relevan untuk dibahas. Karena dalam praktiknya Jaksa Agung adalah pejabat setingkat menteri negara dan menjadi anggota kabinet (ini dikemukakan oleh Andi Hamzah, M Tahir Saimima dan lain-lain), maka masa jabatan Jaksa Agung akan disesuaikan oleh Presiden dengan masa jabatannya serta masa bakti kabinet. Pemohon juga mengemukakan argumen lain dengan merujuk pada konvensi ketetanegaraan, bahwa sejak Kabinet Kerja I pada tahun 1957, Jaksa Agung selalu menjadi anggota kabinet, baik sebagai menteri maupun sebagai pejabat setingkat menteri negara, yang pengangkatannya dilakukan Presiden diawal dan diakhir masa bakti kabinet. Konvensi ini diikuti oleh Presiden Sukarno, Suharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono ketika membentuk Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I melalui Keppres Nomor 187/M Tahun 2004.
Konvensi ketatanegaraan yang telah berlangsung lebih dari setengah abad itu sangatlah kuat kedudukannya. Prof. Soepomo mengatakan bahwa UUD adalah hukum dasar yang tertulis, sementara di samping hukum dasar yang tertulis itu ada hukum dasar yang tidak tertulis yakni kebiasaan-kebiasaan yang timbul dalam praktik penyelenggaraan negara. Berdasarkan dua rujukan ini, yakni rujukan kepada tafsir historis dan konvensi, maka Pemohon berkesimpulan bahwa Jabatan Jaksa Agung bukanlah jabatan yang tak terbatas, apalagi jabatan seumur hidup. Jadi ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa Presiden memberhentikan dengan hormat Jaksa Agung dari jabatannya karena ”berakhir masa jabatannya” sebenarnya dapat dimengerti jika ditafsirkan bahwa masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden dan masa bakti kabinet di mana Jaksa Agung itu menjadi bagian dari kabinet itu.
Argumen yang Pemohon kemukakan di atas dibenarkan oleh fakta yang terjadi dalam praktik pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung sebagaimana dikemukakan oleh saksi fakta Prof. Erman Rajagukguk sebagai mantan Wakil Sekretaris Kabinet. Jaksa Agung, kata Prof. Erman selalu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden di awal dan diakhir masa bakti kabinet. Sementara Ahli Prof. Bagir Manan mengemukakan pendapat bahwa Jaksa Agung sebagai Jaksa berakhir masa jabatannya karena memasuki usia pensiun. Sementara Jaksa Agung sebagai pejabat setingkat menteri negara dan anggota kabinet, maka jabatannya itu berakhir bersama-sama dengan anggota kabibet yang lain.
Prof. Bagir Manan menegaskan bahwa merujuk kepada Keppres Nomor 187/M Tahun 2004 dan Keppres Nomor 31/P Tahun 2007, maka jabatan Hendarman Supandji telah berakhir pada tanggal 20 Oktober 2009. Sejak itu dia menduduki jabatan itu secara tidak sah. Segala tindakan yang dilakukan oleh pejabat yang tidak sah, tidaklah membawa akibat hukum.
Prof. Laica Marzuki mengatakan bahwa Jaksa Agung adalah publieke ambt atau jabatan publik. Mengutip Prof. Logemann, jabatan adalah person pribadi hukum yang bersifat abstrak yang tidak dapat menjalankan fungsi dan kewenangannya. Karena itu ia harus diwakili oleh pemegang jabatan atau ambtsdrager. Jabatan bersifat langgeng dan abadi, sementara pemegang jabatan atau ambtsdrager datang dan pergi silih berganti. Melihat pada kenyataan Hendarman Supandji,
Prof. Laica Marzuki mengatakan bahwa masa jabatannya berdasarkan Keppres Nomor 187/M Tahun 2004 berakhir pada tanggal 20 Oktober 2009. Namun sejak itu dia tidak pernah diangkat kembali, baik sebagai Jaksa Agung yang menjadi anggota kabinet maupun di luar kabinet. Dengan demikian, Hendarman telah mewakili jabatan het ambt Jaksa Agung secara terus-menerus dengan masa jabatan yang tak kunjung berakhir. Ini semua akibat multi tafsir ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, yang mencederai asas kedaulatan rakyat dan asas kepastian hukum di dalam UUD 1945.
Prof. HAS Natabaya pada pokoknya menerangkan hal yang sama dengan kedua ahli, dan sama-sama merujuk kepada teori Prof. Logemann. Prof. Natabaya menambahkan bahwa ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 bertentangan dengan asas beginselen van behoorlijk regelgeving atau asas pembentukan perundang-undangan yang baik, sebagaimana juga diatur dalam Pasal 6 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Ketentuan ini tidak memenuhi syarat adanya kepastian hukum. Pemohon sependapat dengan keterangan ahli Prof. Bagir Manan, Prof. Laica Marzuki dan Prof. HAS Natabaya, dan dua ahli lain yang menguatkan pendapat mereka, yakni Dr. Margarito Khamis dan Dr. Andi M Asrun.
Sementara itu ahli yang diajukan Pemerintah Achmad Roestandi mengatakan bahwa kalau Jaksa Agung pensiun diukur dengan usia, maka undang-undang tidak mengatur hal itu, sehingga bisa saja Jaksa Agung dijabat seumur hidup. ”Dan jangan khawatir kalau Jaksa itu seumur hidup itu lalu tidak demokratis. Karena tidak selalu bahwa demokrasi itu harus ada masa jabatan”. ”Jaksa Agung itu for life, jadi sumur hidup, tidak jadi masalah”. Kalau ini mau dirubah, maka perubahan itu bukan di Mahkamah Konstitusi, melainkan di DPR. Roestandi mengakui bahwa keterangan saksi Prof. Erman Radjagukguk bahwa ada tradisi yang telah baku sehubungan dengan pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung, tetapi ”kalau tradisi itu diubah tidak masalah”, apalagi dikaitkan dengan UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara di mana ”disebutkan dengan tegas bahwa Jaksa Agung itu merdeka”. Jadi tidak terikat lagi bahwa Jaksa Agung harus masuk kabinet atau di luarnya. ”Nah demikian pula pada pembubarannya, tidak satupun kata yang menyebut Hendarman” sehingga ”bagaimana mau diangkat kalau dia masih tidak diberhentikan?”.
Pendapat Roestandi ini tidak mengandung kejelasan argumen, karena UU Nomor 39 Tahun 2008 tidak satu katapun menyebut tentang Kejaksaan Agung dan Jaksa Agung. Inti masalah mengenai kedudukan Hendarman sehubungan dengan Keppres Nomor 187/M Tahun 2004 dan Keppres Nomor 31/P Tahun 2007, tidak disinggung sama sekali. Jaksa Agung bisa saja diangkat menjadi anggota kabinet berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2008, bisa juga tidak.
Fakta yang terungkap dalam sidang ialah, berdasarkan Keppres Nomor 187/P Tahun 2004 dan Keppres Nomor 31/P Tahun 2007, jabatan Hendarman Supandji berakhir tanggal 20 Oktober 2009, dan sejak itu dia tidak pernah diangkat kembali menjadi Jaksa Agung.
Prof. Philipus Hadjon bergargumen bahwa secara ius constitutum, ada Keppres pengangkatan Hendarman sebagai Jaksa Agung, tetapi sampai saat ini belum pernah ada Keppres pemberhentian Hendarman sebagai Jaksa Agung, oleh karena itu Hendarman tetap sah sebagai Jaksa Agung. Argumen ini haruslah ditolak karena masa jabatan seorang pejabat negara dalam ranah eksekutif tidak dapat didasarkan kepada diskresi Presiden, sebagaimana jabatan struktural lembaga pemerintahan non kementerian. Masalahnya tidaklah sederhana, karena belum dicabut maka Hendarman tetap sah sebagai Jaksa Agung, tanpa memperhatikan kondisi termijn jabatan sebagaimana tertuang di dalam konsideran Keppres Nomor 187/M Tahun 2004 dan Keppres Nomor 31/P Tahun 2007.
Pemohon membantah pendapat Prof. Hadjon bahwa konsideran tidak membawa implikasi hukum dalam menafsirkan diktum dalam suatu naskah hukum. Dalam sistem hukum Eropa Kontitental jelas konsideran membawa implikasi pada penafsiran diktum. Kalau konsideran tidak ada implikasinya, maka kita tidak dapat menyebut bahwa dasar negara kita adalah Pancasila, karena hal itu hanya ada di dalam konsideran UUD 1945, bukan didalam artikelnya. Pancasila juga tidak perlu dijadikan sebagai sumber hukum, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2004.
Dr. M Fadjrul Fallakh menegaskan bahwa UU Nomor 16 Tahun 2004 tidak mengatur masa jabatan Jaksa Agung sebagai pejabat negara. Namun dia menolak jika jabatan Jaksa Agung dikaitkan dengan masa jabatan sebagai anggota kabinet, dengan alasan bahwa Jaksa Agung tidak boleh merangkap pejabat negara yang lain, termasuk merangkap jabatan menjadi menteri. Fallakh ini keliru memahami bahwa Jaksa Agung adalah anggota kabinet dengan kedudukan setingkat Menteri Negara, yang dianggapnya seolah-olah Jaksa Agung merangkap jabatan sebagai menteri. Fallakh juga mengemukakan pendapat bahwa sebagai political appointee, Jaksa Agung ”diberhentikan dengan hormat dari jabatannya diakhiri bersamaan dengan berakhirnya jabatan Presiden”. Namun perlukah Keppres pemberhentian dan pengangkatan kembali kalau orangnya sama? ”Kalau untuk keperluan tulis-menulis Keppres mungkin saja Keppres yang berlaku surut”. Jadi ”berdasarkan presumption of legality, Jaksa Agung tetap dijabat orang yang sama karena memang tidak ada Keppres pemberhentian Jaksa Agung.” Pendapat Fallakh ini melepaskan konteks Presiden yang mengangkat Jaksa Agung itu sebenarnya sudah berbeda dengan periodenya dengan Presiden sebelumnya.
Pemilihan Presiden bukanlah terpisah, melainkan dilakukan perpasangan calon, sebagaimana juga terutuang dalam Keppres Nomor 187/M Tahun 2004. Dahulu adalah periode pemerintahan SBY Jusuf Kalla, dan kini adalah periode SBY Boediono. Argumen tata usaha negara yang digunakan Fallah tidaklah dapat menyampingkan konvensi ketatanegaraan yang kedudukannya lebih tinggi daripada sebuah asumsi dalam hukum administrasi negara. Bahwa Sri Mulyani Indarwati adalah Menteri Keuangan dalam KIB I dan diberhentikan diakhir masa bakti kabinet dan kemudian diangkat lagi sebagai Menteri Keuangan dalam KIB II.
Konvensi semacam ini telah berlaku pada semua kabinet Republik Indonesia baik kabinet parlementer zaman Revolusi sampai tahun 1959 maupun Kabinet presidensial pada zaman sesudahnya. Pemohon ini saja tiga kali menjadi Menteri Kehakiman dan HAM dalam tiga kabinet yang berbeda, tetap melalui proses pengangkatan, pemberhentian, dan pengangkatan kembali.
Ahli selanjutnya, Dr. Denny Indrayana dan Dr. Adnan Buyung Nasution, Pemohon memohon agar Majelis Hakim tidak mempertimbangkan keterangan kedua ”ahli” ini mengingat ketika kedua mereka terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan Keppres Nomor 83/P Tahun 2009 tentang pembubaran Kabinet Indonesia Bersatu yang kemudian menjadi kontroversial karena Hendarman Supandji yang menjadi Jaksa Agung dengan kedudukan setingkat menteri negara dalam Keppres Nomor 31/P Tahun 2007 tidak diberhentikan, dan dianggap tetap sah sebagai Jaksa Agung. Denny Indrayana bahkan mengaku bahwa dia terlibat secara langsung dalam penyusunan Keppres Nomor 83/P Tahun 2009 dalam kedudukannya sebagai Staf Khusus Presiden.
Dr. Adnan Buyung Nasution ketika itu adalah Anggota Wantimpres Bidang Hukum. Karena kedua orang ini adalah staf Presiden, maka tempat mereka lebih tepat berada satu deretan dengan Menhukham Patrialis Akbar yang mewakili Presiden,dan bukannya tampil sebagai ahli. Bagaimana mungkin kedua orang ini akan di dengar sebagai ahli – yang semestinya adalah akademisi yang netral dan tidak berpihak dan memberikan keterangan sesuai dengan keahliannya --- kalau mereka sendiri terlibat dalam pokok masalah yang diperkarakan dalam persidangan ini.
Oleh karena Pemohon berpendapat demikian, maka pendapat kedua ”ahli” tersebut tidak perlu Pemohon tanggapi pada kesimpulan ini.
4. Dalil-Dalil Pemohon mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan
Republik Indonesia (“UU No. 16 Tahun 2004”)
A. PEMOHON BERHAK ATAS PENGAKUAN, JAMINAN, PERLINDUNGAN, DAN KEPASTIAN HUKUM YANG ADIL DALAM NEGARA HUKUM
Bahwa secara yuridis Undang-Undang Dasar 1945 memberikan jaminan yang sangat kuat bagi pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1), menyediakan instrumen berupa hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
B. PASAL 22 AYAT (1) HURUF D UU NOMOR 16 TAHUN 2004 MENIMBULKAN KETIDAKPASTIAN HUKUM KARENA TIDAK MEMBERIKAN KEJELASAN BATAS MASA JABATAN JAKSA AGUNG
1. Bahwa tafsiran yang benar dan konstitusional atas ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 dihubungkan dengan Pasal 1 dan Pasal 28D ayat (1) adalah tafsir yang menyatakan bahwa masa jabatan Jaksa Agung adalah sesuai dengan masa bakti kabinet. Atau jikapun terdapat tafsir lain dengan menyatakan Jaksa Agung berada di luar kabinet, maka seharusnya dalam surat pengangkatannya oleh Presiden haruslah mencantumkan secara tegas berapa lama masa jabatan Jaksa Agung yang diangkat tersebut;
2. Bahwa dalam negara hukum yang demokratis segala jabatan negara haruslah dibatasi limit waktunya. Bahkan terhadap jabatan Presiden secara tegas diatur oleh Pasal 7 UUD 1945, untuk waktu selama lima tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kalai masa jabatan;
C. TERDAPAT SESEORANG YANG MENDUDUKI JABATAN JAKSA AGUNG TANPA SURAT PENGANGKATAN OLEH PRESIDEN AKIBAT KESALAHAN PENERAPAN PASAL 22 AYAT (1) UU KEJAKSAAN
1. Bahwa Kabinet Indonesia Bersatu (periode 2004-2009, yang lebih dikenal sebagai KIB I) telah berakhir pada tanggal 20 Oktober 2009 bersamaan dengan berakhirnya masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla (SBY-JK).
2. Bahwa dalam Keppres Nomor 84/P Tahun 2009 tersebut tidak menyebutkan adanya pengangkatan Hendarman Supandji, S.H., CN, sebagai Jaksa Agung Republik Indonesia; sesuai dengan Bukti P-9;
3. Bahwa selain tidak diangkat melalui Keppres Nomor 84/P Tahun 2009, tidak ada pula Keppres lain yang secara khusus mengangkat Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung pasca berakhirnya kabinet pada 20 Oktober 2009, maupun pelantikan dan penyumpahan secara resmi.
D. JAKSA AGUNG TANPA DASAR PENGANGKATAN TELAH MELAKUKAN TINDAKAN-TINDAKAN HUKUM
1. Bahwa menurut Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2004, dinyatakan, “Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Kemudian pada ayat (3) dinyatakan, “Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan”.
2. Bahwa Jaksa Agung berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2004 adalah “Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan”.
3. Bahwa dalam perkara di mana Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka yang penyidikannya dilakukan oleh Penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Republik Indonesia, sebagaimana diberitakan oleh banyak Surat Kabar, mengani kerugian negara lebih dari Rp. 10 milyar dan menarik perhatian masyarakat karena selalu diberitakan oleh Surat Kabar nasional maupun TV secara nasional sesuai dengan Bukti P-10;
4. Bahwa dengan demikian maka penetapan Pemohon sebagai Tersangka dalam perkara Korupsi pada hakikatnya dilakukan oleh “Jaksa Agung Hendarman Supandji, S.H., CN”, yang sudah tidak menjabat Jaksa Agung. Penetapan tersebut adalah tidak sah, meskipun sesuai dengan tugas pokok Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan karena Jaksa Agung sebagai pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan termasuk mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan;
5. Bahwa selain menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, Jaksa Agung yang telah berakhir masa jabatannya tersebut juga telah menetapkan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia tentang pencegahan dalam perkara pidana terhadap Pemohon, terhitung sejak tanggal 25 Juni 2010 sesuai Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-212/D/Dsp.3/06/ 2010; (Bukti P- 11)
E. PASAL 22 AYAT (1) HURUF D UU KEJAKSAAN MERUGIKAN HAK-HAK KONSTITUSIONAL PEMOHON
1. Bahwa ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 telah membuka peluang bagi orang yang “mengaku dan atau menyebut diri” sebagai Jaksa Agung untuk tetap melaksanakan fungsi sebagai Jaksa Agung meskipun jabatannya telah berakhir, karena adanya ketidak kejelasan dan ketidak kepastian masa jabatan Jaksa Agung yang dapat ditafsirkan sesuai kebutuhan penafsir;
2. Bahwa Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 a quo, jika digunakan dengan ditafsirkan secara salah berpotensi untuk melanggar hukum, karena seseorang yang merasa dan tetap menganggap dirinya sebagai Jaksa Agung dapat menyalahgunakan jabatan tersebut untuk berbuat dan atau mengambil keputusan seolah-olah telah bertindak sesuai dengan hukum;
3. Bahwa Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tersebut, jika digunakan dengan ditafsirkan secara salah berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum yang adil;
4. Bahwa Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tersebut telah merugikan Pemohon secara aktual, karena:
(1) Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Penyidik Kejaksaan Agung Republik Indonesia;
(2) Pemohon telah kehilangan kebebasannya karena telah dicekal oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia;
(3) Pemohon telah kehilangan hak untuk berkomunikasi secara layak dan manusiawi;
(4) Pemohon telah mengalami intimidasi pada tanggal 1 Juli 2010 pada waktu hendak meninggalkan kantor Kejaksaan Agung Republik Indonesia;
(5) Pemohon telah mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, karena adanya pembatasan yang tidak patut untuk untuk meninggalkan Kejaksaan Agung pada tanggal 1 Juli 2009;
(6) Pemohon telah dicegah untuk bepergian keluar negeri berdasarkan Keputusan dari pejabat yang tidak sah, terhitung sejak tanggal 25 Juni 2010.
F. PASAL 22 AYAT (1) HURUF D UU KEJAKSAAN MENJADI INKONSTITUSIONAL JIKA TIDAK MEMILIKI PENAFSIRAN YANG PASTI
1. Bahwa sebagaimana uraian di atas, karena tidak ada ketentuan dalam UU Kejaksaan sendiri mengenai “berakhirnya masa jabatan” Jaksa Agung, maka Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan menimbulkan multi-tafsir; 2. Bahwa Pemohon juga menyadari, disatu sisi apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, dapat terjadi kekosongan hukum (wetsvacuum) mengenai alasan pemberhentian Jaksa Agung.
3. Oleh karena itu untuk mengatasi kekosongan hukum (wetsvacuum) tersebut, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk dapat memberikan tafsir konstitusional atas Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004, agar dapat konstitusional dan memberikan batasan penafsiran agar tidak terjadi inkonstitusionalitas.
PETITUM
Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, dengan ini Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Konstitusi Yang Terhormat agar berkenan memberikan putusan sebagai berikut:
Dalam Provisi:
1. Menerima permohonan Provisi Pemohon;
2. Memerintahkan kepada Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk menghentikan penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor Print-79/F.2/ Fd.1/06/2010 tanggal 24 Juni 2010, melanggar Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 12 huruf i UU Nomor 31 Tahun 2009 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001; setidak-tidaknya sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo yang berkekuatan hukum tetap;
3. Memerintahkan kepada Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk mencabut dan atau membatalkan Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-212/D/Dsp.3/06/2010 tentang Pencegahan dalam perkara pidana setidak-tidaknya sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo yang berkekuatan hukum tetap;
Dalam Pokok Perkara:
1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sepanjang tidak ditafsirkan sesuai masa jabatan Presiden dan masa jabatan anggota kabinet;
3. Menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya, sepanjang tidak ditafsirkan sesuai masa jabatan Presiden dan masa jabatan anggota kabinet;
4. Atau apabila Majelis Hakim Kons (pdapolindo)
POLITISIANA

Boediono Kembali Bicara Kasus Century
Mantan Wakil Presiden Boediono kembali bicara terkait kasus Bank Century yang terjadi saat dirinya m...
Reaksi PAN Atas Ancaman Luhut ke Amien Rais
Pernyataan keras bernada ancaman yang dilontarkan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan terhadap...NUSANTARA

Lebaran, KAI Tanjungkarang Sediakan 25.740 Kursi
PT Kereta Api Indonesia Divre IV Tanjungkarang telah menyiapkan 25.740 kursi penumpang selama angkut...
Petani Kebumen Sukses Budidayakan Cabai di Pasir Pantai
Indonesia punya banyak sekali jenis cabai budidaya. Cabai tak hanya bisa dtanam di dataran rendah at...JAJAK PENDAPAT