
Zainal Arifin Mochtar (Helmi/dok)
Artikel Terkait:
07/10/2010Diri Sendiri Sesat, Kok Bilang KPK yang Sesat
Politikindonesia - Sikap anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Gayus Lumbuun yang menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sesat dan “KPK sesat” dan “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengadilan sesat” dikritik. Anggota DPR yang berkata itulah yang sebenarnya sesat.
Kritikan itu disampaikan oleh Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar, Jumat (08/10). Dengan menyebut “KPK sesat” semangat yang ditunjukkan anggota DPR itu justru berlawanan dengan semangat pemberantasan korupsi. "Semangat yang ditunjukkan DPR kemudian, jadi semangat anti-penegakan hukum," kata dia.
Dalam pandangan Zainal, pembelaan matia-matian yang ditunjukkan Gayus terhadap rekannya, sesama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu justru menunjukkan bahwa anggota DPR yang berkata itulah yang sesat.
Daripada menuding KPK sesat, sambung Zainal, lebih baik DPR membantu KPK mengusut kasus dugaan suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Miranda Swaray Goeltom pada 2004.
Misalnya, dengan menarik salah satu saksi kunci, Nunun Nurbaeti Daradjatun agar bisa memberikan keterangan. "Bila perlu, DPR meminta fasilitas dari pemerintah untuk mencari di mana Nunun berada."
Zainal meminta agar politisi yang berada di Komisi Hukum DPR agar bisa lebih dewasa dan pintar dalam memberikan dukungan pemberantasan korupsi. “Kalau model kayak kemarin, bagaimana partai politik itu (PDIP) bisa mendapat dukungan dari publik lagi?" kata dia.
Bahkan, Zainal mengritik sikap yang memaki-maki KPK tersebut sebagai tindakan kampungan. “Jangan kampungan.”
Zainal juga mengritik jalannya rapat kerja Komisi III DPR dan KPK itu. Seharusnya, banyak hal yang bisa digali dalam rapat kemarin. Sayangnya, rapat justru menghabiskan waktu untuk mendengar curhat Panda Nababan, tersangka kasus suap pemilihan Miranda tersebut. “Itu kan acara resmi DPR," ujar dia.
Dalam pandangan Zainal, sebagai forum resmi, rapat kerja itu hendaknya lebih fokus membahas kinerja KPK. “Kalau jadi ajang curhat dan pembelaan salah satu anggota DPR yang jadi tersangka di KPK jadi keliru dan tidak tepat," kata Zainal.
Zainal Arifin Mochtar, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM)
Kritikan itu disampaikan oleh Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar, Jumat (08/10). Dengan menyebut “KPK sesat” semangat yang ditunjukkan anggota DPR itu justru berlawanan dengan semangat pemberantasan korupsi. "Semangat yang ditunjukkan DPR kemudian, jadi semangat anti-penegakan hukum," kata dia.
Dalam pandangan Zainal, pembelaan matia-matian yang ditunjukkan Gayus terhadap rekannya, sesama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu justru menunjukkan bahwa anggota DPR yang berkata itulah yang sesat.
Daripada menuding KPK sesat, sambung Zainal, lebih baik DPR membantu KPK mengusut kasus dugaan suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Miranda Swaray Goeltom pada 2004.
Misalnya, dengan menarik salah satu saksi kunci, Nunun Nurbaeti Daradjatun agar bisa memberikan keterangan. "Bila perlu, DPR meminta fasilitas dari pemerintah untuk mencari di mana Nunun berada."
Zainal meminta agar politisi yang berada di Komisi Hukum DPR agar bisa lebih dewasa dan pintar dalam memberikan dukungan pemberantasan korupsi. “Kalau model kayak kemarin, bagaimana partai politik itu (PDIP) bisa mendapat dukungan dari publik lagi?" kata dia.
Bahkan, Zainal mengritik sikap yang memaki-maki KPK tersebut sebagai tindakan kampungan. “Jangan kampungan.”
Zainal juga mengritik jalannya rapat kerja Komisi III DPR dan KPK itu. Seharusnya, banyak hal yang bisa digali dalam rapat kemarin. Sayangnya, rapat justru menghabiskan waktu untuk mendengar curhat Panda Nababan, tersangka kasus suap pemilihan Miranda tersebut. “Itu kan acara resmi DPR," ujar dia.
Dalam pandangan Zainal, sebagai forum resmi, rapat kerja itu hendaknya lebih fokus membahas kinerja KPK. “Kalau jadi ajang curhat dan pembelaan salah satu anggota DPR yang jadi tersangka di KPK jadi keliru dan tidak tepat," kata Zainal.
Zainal Arifin Mochtar, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM)